Satu Tahun Sudah Tragedi Kanjuruhan Berlalu, Lalu?
Kolom

Satu Tahun Sudah Tragedi Kanjuruhan Berlalu, Lalu?

Standar penyelenggaraan keolahragaan harus juga mempertimbangkan faktor keamanan dan keselamatan bagi seluruh pihak dalam pertandingan olahraga.

Bacaan 5 Menit

Pertandingan-pertandingan yang tergolong sebagai pertandingan dengan risiko tinggi/high tension match mewajibkan aparat keamanan mengutamakan langkah-langkah preventif—mulai dari sterilisasi jalur kedatangan dan kepulangan bagi suporter tamu dengan konsep “bubble match”, memperkuat pemantauan melalui CCTV, perubahan jam pertandingan, hingga melakukan pengurangan jumlah tiket yang dijual—. Ketentuan mengenai security and safety wajib untuk disosialisasikan kepada seluruh elemen pertandingan. Bahkan, harusnya secara rutin disimulasikan di stadion dengan beragam level risiko yang mungkin saja terjadi.

Standar pelayanan minimal keolahragaan ke depan juga harus mempertimbangkan aspek keamanan dan keselamatan suporter. Suporter tidak hanya dianggap sebagai sumber pendapatan bagi tim. Mereka juga harus dianggap sebagai pemangku kepentingan utama dari sebuah klub sepakbola. Perlu dicatat bahwa terjadi pergeseran budaya yang positif di kalangan suporter sepakbola Indonesia saat ini. Kesadaran mereka untuk masuk ke stadion dengan membeli tiket semakin baik dari waktu ke waktu. Semakin banyak juga klub yang menerapkan sistem penjualan tiket secara online untuk memerangi praktik calo. Sayangnya, belum terjadi perubahan paradigma bahwa hak setiap suporter yang memiliki tiket tidak sebatas akses masuk ke stadion untuk menyaksikan pertandingan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Undang-Undang yang sama bahkan melarang pencantuman klausula baku oleh pelaku usaha. Artinya, kewajiban setiap penyelenggara pertandingan untuk memastikan keselamatan dan keamanan setiap orang yang berada di stadion tidak bisa ditawar dan diingkari.

Salah satu hal penting yang selama ini abai diperhatikan oleh penyelenggara pertandingan adalah kewajiban asuransi. Seharusnya klausul asuransi merupakan konsekuensi logis dari setiap pertandingan atau kegiatan yang mengumpulkan massa dalam jumlah yang banyak. Klausul asuransi tersebut akan memberikan jaminan perlindungan bagi para suporter/penonton. Selain itu, juga membuat pihak penyelenggara akan memaksimalkan langkah antisipatif untuk mencegah hal buruk terjadi.

Ada pelajaran berharga dari tragedi serupa dalam pertandingan sepakbola yaitu tragedi Heysel dan tragedi Hillsborough. Perjuangan mendapat keadilan bagi korban juga bukan hal yang mudah saat itu. Di awal tragedi Hillsborough, suporter brutal yang datang ke stadion dalam keadaan mabuk dianggap sebagai penyebab utama kerusuhan. Namun, 26 tahun setelah tragedi Hillsborough terjadi—dalam kesaksian pengadilan medio 2015—David Duckenfield yang bertugas komandan polisi ketika itu akhirnya mengakui dirinya bertanggung jawab atas kematian 96 orang korban. Kegigihan korban tragedi Hillsborough selama lebih dari 20 tahun membuahkan hasil. Mereka memperjuangkan keadilan dengan kekuatan yang dibangun di atas soliditas dan solidaritas atas nama kemanusiaan. Jangka waktu itu tentu terasa sangat lama dalam konteks bangsa kita yang pelupa.

Apa yang terjadi setelah satu tahun tragedi Kanjuruhan berlalu nyatanya hanyalah ironi. Kita hanya melihat pemerintah segera merenovasi Stadion Kanjuruhan alih-alih merenovasi total standar penyelenggaraan keolahragaan. Kita hanya menyaksikan cerminan dari gagalnya negara ini memberikan perlindungan, keadilan, bahkan setidaknya penghormatan kepada para korban. Lalu, reformasi PSSI dan keberpihakan PSSI kepada korban merupakan hal yang tidak bisa ditawar. Pembaharuan prosedur pengamanan (matches safety and security) dan pengendalian massa (crowd control) dalam setiap kegiatan sangat mendesak untuk disusun.

Keadilan bagi korban tidak hanya sebatas hukuman yang berat kepada semua pelaku. Harus ada komitmen nyata agar tragedi yang sama tidak akan terjadi di kemudian hari. Selama keadilan bagi korban tragedi Kanjuruhan belum terwujud, sepertinya tidak layak kita bersuka cita karena sepakbola. Menyitir seorang komika Pandji Pragiwaksono, “Bocah aja tahu, selesaikan dulu PR-nya, baru main bola”.

*)Syahrul Sajidin SH. MH., Dosen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait