Sebar Hate Speech Berbau SARA di Media Sosial, Begini Jerat Hukumnya
Utama

Sebar Hate Speech Berbau SARA di Media Sosial, Begini Jerat Hukumnya

Perbuatan yang dilarang dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE ialah dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Fitri Novia Heriani
Bacaan 5 Menit
Pegiat media sosial yang pernah menjadi politisi Partai Demokrat Ferdinand Hutahean harus berurusan dengan hukum setelah cuitannya di twitter dilaporkan ke polisi lantaran dianggap berbau SARA. Foto: RES
Pegiat media sosial yang pernah menjadi politisi Partai Demokrat Ferdinand Hutahean harus berurusan dengan hukum setelah cuitannya di twitter dilaporkan ke polisi lantaran dianggap berbau SARA. Foto: RES

Mantan politikus Partai Demokrat, Ferdinand Hutahean harus berurusan dengan pihak kepolisian setelah diduga melontarkan ujian kebencian atau hate speech berbau SARA di media sosial. Pada 4 Januari lalu, Ferdinand menulis cuitan di twitter pribadi miliknya, "Allahmu ternyata lemah harus dibela. aku sih Allahku luar biasa, maha segalanya. Dialah pembelaku selalu dan Allahku tak perlu dibela."

Pernyataan ini memicu reaksi dan kecaman dari publik. Saat ini Ferdinand sudah berstatus sebagai tersangka. Penetapan tersangka tersebut disampaikan oleh Penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri pada Senin malam, (10/1).

Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol Ahmad Ramadhan menyebutkan, setelah penetapan tersangka penyidik melakukan penangkapan dan penahanan terhadap Ferdinand Hutahaean.

"Setelah gelar perkara Tim Penyidik Dittipidsiber Bareskrim Polri mendapatkan dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP sehingga menaikkan status saudara FH dari saksi sebagai tersangka," kata Ramadhan sebagaimana dikutip dari Antara. (Baca Juga: Jerat Hukum Pihak yang Memanipulasi Nilai Hasil CPNS)

Sebelum ditetapkan tersangka, penyidik telah memeriksa Ferdinand Hutahaean sebagai saksi. Pemeriksan berlangsung dari pukul 10.30 WIB sampai dengan 21.30 WIB. Selain saksi terlapor, penyidik juga telah memeriksa diantaranya 17 saksi dan 21 saksi ahli.

"Setelah pemeriksaan Ferdinand sebagai saksi, penyidik melakukan gelar perkara," kata Ramadhan.

Dari gelar perkara tersebut, diperoleh dua alat bukti yang cukup hingga penyidik menaikkan status Ferdinand dari saksi menjadi tersangka. Usai penetapan tersangka, penyidik melakukan pemeriksaan lanjutan terhadap Ferdinand.

"Kemudian penyidik melakukan proses penangkapan dan penahanan," ujar Ramadhan.

Ferdinand ditahan selama 20 hari ke depan di Rutan Cabang Jakarta Pusat di Mabes Polri. Ada dua alasan penyidik melakukan penahanan yakni alasan subjektif dan objektif. Ramadhan menjelaskan, alasan subjektif penyidik adalah dikhawatirkan tersangka melarikan diri dan mengulangi perbuatannya.

"Alasan objektifnya, karena ancaman hukuman yang disangkakan kepada FH di atas lima tahun," jelas Ramadhan.

Adapun pasal yang disangkakan kepada Ferdinahd yakni Pasal 14 ayat (1) dan (2) Peraturan Hukum Pidana Nomor 1 Tahun 1946, Pasal 45 ayat (2) Jo. Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang ITE dengan ancaman maksimal 10 tahun penjara.

Sebenarnya ini bukan kali pertama kasus penistaan agama berlabuh ke meja hijau. Sebelumnya pada 2017 lalu mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama juga pernah mendekam dibalik jeruji besi selama 2 tahun setelah terbukti melakukan penistaan agama. Saat itu Ahok -nama panggilan- menyinggung Surah QR Al-Maidah ayat 51 saat berpidato di Pulau Pramuka pada 27 September 2017.

Pada kasus yang menjerat Ferdinand, ujaran kebencian atau hate speech dilakukan di laman media sosial Twitter. Pemerintah sendiri berupaya melakukan pencegahan konflik yang bermula pada ujaran kebencian lewat UU No No.11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU 19/2016), khususnya pada Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang berbunyi: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”

Dikutip dari Klinik Hukumonline “Pasal untuk Menjerat Penyebar Kebencian SARA di Jejaring Sosial”, unsur dengan sengaja dan tanpa hak selalu muncul dalam perumusan tindak pidana siber. ‘Tanpa hak’ maksudnya tidak memiliki alas hukum yang sah untuk melakukan perbuatan yang dimaksud. Alas hak dapat lahir dari peraturan perundang-undangan, perjanjian, atau alas hukum yang lain. ‘Tanpa hak’ juga mengandung makna menyalahgunakan atau melampaui wewenang yang diberikan.

Perbuatan yang dilarang dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE ialah dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Sebenarnya, tujuan pasal ini adalah mencegah terjadinya permusuhan, kerusuhan, atau bahkan perpecahan yang didasarkan pada SARA akibat informasi negatif yang bersifat provokatif. Isu SARA dalam pandangan masyarakat merupakan isu yang cukup sensitif. Oleh karena itu, pasal ini diatur dalam delik formil, dan bukan delik materil.

Contoh penerapannya adalah apabila seseorang menuliskan status dalam jejaring sosial informasi yang berisi provokasi terhadap suku/agama tertentu dengan maksud menghasut masyarakat untuk membenci atau melakukan anarki terhadap kelompok tertentu, maka Pasal 28 ayat (2) UU ITE ini secara langsung dapat dipergunakan oleh Aparat Penegak Hukum (“APH”) untuk menjerat pelaku yang menuliskan status tersebut.

Ancaman pidana dari Pasal 28 ayat (2) UU ITE tersebut diatur dalam Pasal 45A ayat (2) UU 19/2016, yakni: “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.”

Terkait efektivitas pasal tentunya dapat dilihat setidaknya dari dua sisi, yaitu pengaturan dan penerapan/penegakan (law enforcement). Secara pengaturan, perumusan pasal ini sudah dinilai cukup. Sedangkan, dalam aspek penerapan/penegakan pasal yang dimaksud, tentu bergantung pada tiap-tiap kasus yang terjadi atau dengan kata lain penerapan pasal tersebut relatif sulit diukur parameter efektivitasnya.

Contoh lain dalam kasus penistaan agama dapat dilihat dalam Putusan Pengadian Negeri Kota Timika Nomor: 120/Pid.Sus/2017/PN.Tim, yang mana terdakwa dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) melalui media internet Facebook dengan akun DEMMY DASKUNDA.

Perbuatan tersebut dilakukan dengan cara memposting gambar Pastor dengan kalimat mengandung unsur SARA (menghina Pastor). Sehingga hal ini yang mengundang kemarahan warga umat Khatolik Kabupaten Mimika karena menurut umat katholik pastor adalah Pimpinan gereja katholik.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menjelaskan mengenai yang dimaksud dengan tanpa hak atau melawan hukum dapat dibedakan menjadi melawan hukum secara formil yaitu yang bersumber pada undang-undang yang berlaku dan melawan hukum secara materril yaitu melawan hukum bukan saja berdasarkan undang-undang yang berlaku tetapi juga didasarkan atas azas ketentuan umum, azas kesusilaan, azas kepatutan yang hidup di dalam masyarakat.

Perbuatan terdakwa mengakibatkan umat katholik di Kabupaten Mimika sakit hati dan marah karena pemilik akun Facebook DEMMY DASKUNDA yaitu terdakwa telah menghina seorang Imam yang dianggap sebagai tokoh yang disegani dan dihormati di dalam gereja.

Dalam amar putusan, majelis hakim menjatuhkan pidana berdasarkan Pasal 45A ayat (2) UU 19/2016, dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sebesar Rp 100 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayarkan maka akan diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan.

Tags:

Berita Terkait