Ekses Yuridis Surat Ketua MA tentang Penyumpahan Advokat
Kolom

Ekses Yuridis Surat Ketua MA tentang Penyumpahan Advokat

Secara sosio-legal, tentu sangat beralasan ketika muncul kekhawatiran dunia hukum yang dijalankan juga oleh pada advokat akan semakin mengalami keterpurukan.

Bacaan 8 Menit
Shalih Mangara Sitompul. Sumber: Istimewa
Shalih Mangara Sitompul. Sumber: Istimewa

Mencermati dasar hukum legalitas profesi advokat di Indonesia, maka secara gamblang Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) menjadi dasar secara yuridis tentang pengakuan seseorang sah atau tidaknya menjadi seorang advokat. UU ini membahas tentang ketentuan-ketentuan yang dipersyaratkan agar seseorang bisa berprofesi sebagai advokat dan diberikan hak-haknya sebagai pengemban profesi advokat di Indonesia melalui mekanisme yang telah diatur dalam UU Advokat.

Berlakukannya UU Advokat tersebut merupakan suatu peristiwa penting dalam sistem penegakan hukum di Indonesia. Pada konteks demikian, telah terjadi perubahan yang fundamental dalam sejarah profesi advokat. Suatu profesi yang memiliki legitimasi kuat dan terhormat di hadapan hukum, dan setara dengan penegak hukum lainnya, baik penyidik, penuntut umum maupun hakim.

Eksistensi payung hukum demikian tentu berkorelasi positif terhadap kedudukan profesi advokat di hadapan hukum Indonesia yang sejajar dengan penegak hukum lainnya dan tidak kalah jika dibandingkan dengan penegak hukum lain. Hal ini karena advokat juga dilindungi dengan undang-undang sebagai payung hukum yang mengatur mengenai hak dan kewajiban yang diembannya.

Namun pasca keluarnya Surat Ketua Mahkamah Agung No. 73/KMA/HK.01/IX/2015 tentang Penyumpahan Advokat (SKMA Penyumpahan Advokat), yang diperhadapkan dengan keberlakuan UU Advokat, terjadi pergeseran sistem kelembagaan organisasi advokat bahkan muncul permasalahan terkait dengan legalitas dari advokat untuk dapat beracara atau bersidang di depan majelis hakim. Hal demikian dikarenakan terjadi pergeseran dari single bar system sebagaimana diamanatkan UU Advokat, menjadi multi bar system berdasarkan SKMA Penyumpahan Advokat yang mengakibatkan chaos bagi legalitas para advokat yang masih belum melaksanakan sumpah.

Sebagaimana diketahui, pasca lahirnya Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) pada 21 Desember 2004, maka sebagai pengemban hukum praktikal pada ranah penegak hukum yang disebut advokat, wewenang pembinaan dan pengawasan profesi advokat sepenuhnya dijalankan oleh wadah tunggal (single bar system) sebagaimana yang diamanatkan UU Advokat.

Wewenang tersebut antara lain: (1). Melaksanakan pendidikan khusus profesi advokat; (2). Pengujian calon advokat; (3). Pengangkatan advokat; (4). Membuat kode etik; (5). Membentuk Dewan Kehormatan; (6). Membentuk Komisi Pengawas; (7). Melakukan pengawasan; dan (8). Memberhentikan advokat. Dapat dicermati bahwa mulai dari proses pendidikan, pengujian, pengangkatan, pengawasan pelaksanaan praktik profesi advokat sehari-hari, semuanya telah menjadi kewenangan PERADI.

Satu-satunya wewenang yang tidak dimiliki oleh wadah tunggal organisasi advokat ini adalah pengangkatan sumpah advokat yang masih saja menjadi kewenangan Pengadilan Tinggi di bawah Mahkamah Agung. Pada konteks demikian, sejatinya kewenangan pengangkatan sumpah advokat di bawah Pengadilan Tinggi maupun munculnya SKMA Penyumpahan Advokat tersebut merupakan contradictio in terminis, dikarenakan meski UU Advokat secara tegas dan jelas menganut wadah tunggal dalam sistem organisasi advokat (single bar system) yang dalam hal ini sepenuhnya direpresentasikan oleh PERADI.

Namun khusus mengenai pengangkatan seorang advokat melalui sebuah prosesi sumpah profesi advokat, kewenangan penyumpahan ini masih menjadi kewenangan lembaga Peradilan Tinggi. Maka ketika kewenangan pengangkatan sumpah advokat yang semula berbasis single bar system demikian justru dibelokkan dengan SKMA Penyumpahan Advokat, yang terjadi kemudian adalah praktik maladministrasi yang disebabkan oleh SKMA tersebut.

Kondisi mengenai kewenangan penyumpahan demikian semakin runyam karena dengan keluarnya SKMA Penyumpahan Advokat tanggal 25 September 2015 tersebut justru ‘membukakan pintu’ bagi organisasi advokat selain Peradi untuk mengusulkan penyumpahan advokat di Pengadilan Tinggi pada wilayah hukum domisili advokat. Hal inilah yang menyimpangi ketentuan UU Advokat maupun beragam putusan hakim, baik dari kalangan Mahkamah Agung (MA), maupun uji materi yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi (MK).

Meskipun terbitnya SKMA Penyumpahan Advokat memunculkan permasalahan baru serta penolakan dari PERADI, hingga saat ini MA agaknya tetap bergeming. Penolakan atas terbitnya SKMA Penyumpahan Advokat yang notabene beralasan kuat dan memiliki argumentasi yuridis sesuai ketentuan perundangan, putusan MK maupun putusan MA, sejatinya ditambah pula dengan argumentasi yang bersifat empiris.

Kewenangan Pengangkatan Profesi Advokat di Indonesia

Mengkaji dengan cermat kewenangan penyumpahan profesi advokat tentu saja berkorelasi dengan UU Advokat yang menempatkan kewenangan tetap diberikan kepada Ketua Pengadilan Tinggi untuk menyumpah calon-calon advokat yang sudah memenuhi kriteria yang disyaratkan. Ketua Pengadilan Tinggi masih memiliki peranan sentral mengenai legalitas dari seorang advokat yang diberikan legitimasi untuk bersidang di dalam peradilan.

Terdapat sejumlah alasan yang melatarbelakangi terbitnya SKMA Penyumpahan Advokat. Pertama, bahwa berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU Advokat, sebelum menjalankan profesinya, advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya.

Kedua, bahwa berdasarkan surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 089/KMA/VI/2010 tanggal 25 Juni 2010 yang pada pokoknya Ketua Pengadilan Tinggi dapat mengambil sumpah para advokat yang telah memenuhi syarat, dengan ketentuan bahwa usul penyumpahan tersebut harus diajukan oleh pengurus Peradi sesuai dengan jiwa kesepakatan tanggal 24 Juni 2010, ternyata kesepakatan tersebut tidak dapat diwujudkan sepenuhnya, bahkan Peradi yang dianggap sebagai wadah tunggal sudah terpecah dengan masing-masing mengklaim sebagai pengurus yang sah. Di samping itu berbagai pengurus advokat dari organisasi-organisasi lainnya juga mengajukan permohonan penyumpahan.

Ketiga, bahwa UUD 1945 menjamin hak untuk bekerja dan memperoleh penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, hak mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (tidak terkecuali advokat) sesuai ketentuan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2). Keempat, bahwa di beberapa daerah tenaga advokat dirasakan sangat kurang karena banyak advokat yang belum diambil sumpah atau janji sehingga tidak bisa beracara di pengadilan sedangkan pencari keadilan sangat membutuhkan jasa advokat.

Kelima, bahwa advokat yang telah bersumpah atau berjanji di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya, sebelum maupun sesudah terbitnya UU Advokat dapat beracara di Pengadilan dengan tidak melihat latar belakang organisasinya.

Keenam, bahwa terhadap advokat yang belum bersumpah atau berjanji, Ketua Pengadilan Tinggi berwenang melakukan penyumpahan terhadap advokat yang memenuhi persyaratan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Advokat atas permohonan dari beberapa organisasi advokat yang mengatasnamakan Peradi dan pengurus organisasi advokat lainnya hingga terbentuknya UU Advokat yang baru.

Ketujuh, setiap kepengurusan advokat yang dapat mengusulkan pengambilan sumpah atau janji harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam UU Advokat selain yang ditentukan dalam angka 6 tersebut di atas. Kedelapan, dengan diterbitkannya surat ini, maka surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 089/KMA/VI/2010 tanggal 25 Juli 2010 perihal penyumpahan Advokat dan Surat Nomor 052/KMA/HK.01/III/2011 tanggal 23 Maret 2011 perihal Penjelasan Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 089/KMA/VI/2010 dinyatakan tidak berlaku.

Menelaah langkah diskresioner terobosan hukum yang dilakukan oleh Ketua MA tersebut, jika dibaca dalam batas penalaran hukum yang wajar, maka secara format tekstualitasnya, SKMA Penyumpahan Advokat ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai peraturan kebijakan berdasarkan prinsip-prinsip yang menjadi doktrin kebijakan.

Lebih dari itu, jika dilihat dari kebiasaan kebijakan administrasi di lingkungan MA, berdasarkan Keputusan Mahkamah Agung (KMA) Nomor 57 Tahun 2016 tentang Pedoman Penyusunan Kebijakan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang menyatakan bahwa bentuk-bentuk perbuatan atau tindakan administrasi di lingkungan MA secara limitatif hanya terdiri dari: Peraturan Mahkamah Agung (PERMA); Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) dan Surat Keputusan.


Maka ketika mencermati Keputusan Mahkamah Agung (KMA) Nomor 57 Tahun 2016 tersebut, tidak disebutkan jenis Surat Ketua MA sebagai bagian dari bentuk pedoman penyusunan kebijakan di lingkungan MA. Oleh karenanya, SKMA Penyumpahan Advokat telah menyimpangi peraturan kebijakan internal MA, yaitu Keputusan Mahkamah Agung (KMA) Nomor 57 Tahun 2016.

Lebih jauh, substansi SKMA Penyumpahan Advokat ini, jika ditelaah dari aspek kebijakan publik, secara jelas telah mengubah cara pandang publik terhadap organisasi advokat dari single bar system ke multy bar system. Maka dengan demikian SKMA ini secara substantif telah nyata menyulut ketidakpastian hukum dalam aspek pelaksanaan atau penerapan UU Advokat dalam praktik pengusulan sumpah advokat.

Padahal dari sudut pandang hukum administrasi, setiap produk kebijakan publik yang dibuat dalam bentuk kebijakan administrasi diperlukan kepercayaan publik (public trust) yang dalam hal ini salah satu syaratnya adalah pembuatan peraturan pelaksana suatu undang-undang berdasarkan asas: “…those qualities of a decision process that provide arguments for the acceptable ofits decisions".

Pada konteks demikian, artinya kualitas suatu keputusan dalam kebijakan publik dapat dianggap berkualitas jika keputusan itu dapat diterima baik oleh orang/badan yang secara langsung berhubungan dengan keputusan itu atau orang/badan yang tidak secara langsung terkena dampak dari keputusan dalam kebijakan publik itu. Oleh karena itu SKMA ini sudah seharusnya batal demi hukum (van rechtwageneting) ketika diproses dalam suatu Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Sebagaimana diketahui, suatu keputusan yang dinyatakan batal demi hukum, akan berakibat keputusan yang dibatalkan itu berlaku surut, terhitung mulai saat tanggal dikeluarkannya keputusan yang dibatalkan itu. Keadaan selanjutnya dikembalikan pada keadaan semula sebelum dikeluarkannya keputusan tersebut (ex-tunc) dan akibat hukum yang telah ditimbulkan oleh keputusan itu dianggap tidak pernah ada.

Namun pengajuan gugatan TUN demikian tidak tanpa kekhawatiran. Setidaknya masih terdapat pandangan pesimis mengenai potensi ‘ketakutan’ pada para hakim Pengadilan Tata Usaha Negara ketika SKMA Penyumpahan Advokat diajukan melalui Peradilan TUN. Akankah hakim PTUN yang notabene di bawah lingkup pengawasan MA ‘berani’ memeriksa produk hukum Ketua MA?

Secara lebih mendalam pada ranah substansinya, sejatinya terlihat jelas bahwa sesungguhnya setelah berlakunya SKMA Penyumpahan Advokat, maka berimplikasi terhadap semakin banyaknya organisasi yang akan bermunculan dan semakin banyaknya advokat-advokat dari organisasi selain PERADI. Hal ini karena telah dibuka dan diberikannya kewenangan yang besar kepada Ketua Pengadilan Tinggi untuk mengambil sumpah advokat tanpa harus melihat latar belakang organisasi profesi advokatnya.

Mencermati kondisi demikian, maka secara sosio-legal, tentu sangat beralasan ketika muncul kekhawatiran dunia hukum yang dijalankan juga oleh pada advokat akan semakin mengalami keterpurukan. Ketiadaan pengawasan yang ketat dari satu organisasi advokat yang memiliki legitimasi (single bar system), ketiadaan seleksi yang ketat terhadap calon-calon advokat pada saatnya berpotensi menurunkan mutu dari advokat sebagai akibat tidak standarnya proses yang dijalani, dan kekhawatiran munculnya fenomena ‘kutu loncat’ ketika terjadi pelanggaran kode etik oleh seorang oknum advokat yang dengan mudah beralih ke organisasi profesi advokat bersistem multi bar akibat munculnya banyak organisasi profesi advokat.

Pada kulminasi yang lebih luas, kebutuhan yang demikian besar dari masyarakat mengenai perlindungan dan pemenuhan hukum merupakan urgensi yang tidak bisa ditawar lagi, masyarakat yang memasuki esoterisme dan buta akan hukum menjadi prioritas untuk dilindungi hak-haknya. Pada konteks demikian hak-hak masyarakat harus dilindungi oleh orang-orang yang paham hukum, dan tentu saja salah satu yang dianggap mengerti hukum dan bersedia memberikan perlindungan hukum adalah advokat.

Pada titik ini, advokat dapat memberikan masukan, nasihat, bahkan langkah-langkah perlindungan terhadap hak-hak dari masyarakat terkait dengan beragam faset permasalahan hukum, bahkan dapat memberikan penjelasan yang gamblang mengenai keseluruhan aspek hukum di Indonesia yang kian hari kian esoteris.

Masyarakat Indonesia yang dapat dikatakan sebagian besar masih buta dan awam terhadap ekosistem hukum dan penegakannya tentu membutuhkan bantuan serta tempat untuk bertanya terhadap permasalahan-permasalahan hukum di Indonesia. Bahkan di kala pandemi, dan di era revolusi industri 4.0 serta society 5.0 masyarakat saat ini semakin banyak berurusan dengan hukum yang tentunya harus dilindungi hak-haknya. Oleh karenanya ketika para advokat menurun kualitas akibat tiadanya pengawasan yang ketat dan tahapan yang standar, tentu akan memunculkan ironi dan permasalahan yang kian menyengsarakan kehidupan para pencari keadilan.

Eksistensi advokat yang berkualitas yang dijamin dengan pengawasan yang melekat serta langkah pengembanan profesi yang sistematis menjadi kebutuhan yang mendesak bahkan menjadi Conditio Sine Qua Non untuk mengimbangi kebutuhan masyarakat akan hukum dan perkembangannya yang masif. Maka single bar system menjadi keniscayaan dalam menjaga kualitas advokat maupun kualitas kelembagaan yang mustahil jika memedomani multi bar system sebagaimana dikemukakan dalam SKMA Penyumpahan Advokat.

Secara lebih detail dapat dikemukakan beberapa ekses (dampak negatif) akibat terbukanya multi bar system sebagaimana SKMA Penyumpahan Advokat. Pertama, tidak terkendalinya jumlah advokat yang eksis di Indonesia, sehingga monitoring maupun pemantauan jumlah advokat mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya. Kedua, standarisasi advokat yang berbeda-beda pada setiap organisasi advokat yang bermunculan berekses pada perbedaan standar minimal mutu advokat yang tentu berpotensi menyengsarakan rakyat pencari keadilan akibat ketiadaan standarisasi mutu dan kode etik profesi sebagai dampak berbedanya tahapan pencapaian kualitas profesi advokat yang tidak diwadahi dalam sebuah single bar system.

Ketiga, semakin mudahnya untuk menjadi advokat berekses pada limbungnya predikat officium nobile serta tidak terkontrolnya perilaku di luar persidangan. Keempat, mudahnya advokat berpindah organisasi ketika melakukan pelanggaran kode etik profesi advokat untuk menghindari sanksi yang dijatuhkan dari suatu organisasi profesi advokat. Kelima, perlindungan yang tidak maksimal terhadap advokat oleh organisasi profesi yang tidak tersentral ketika berhadap-hadapan dengan penegak hukum lain yang notabene tersentral organisatorisnya.

Perlu disadari bahwa dalam praktiknya, advokat sebagai sebuah profesi yang mulia (officium nobile), tidak dapat dilepaskan dari keterkaitannya dengan organisasi yang memayungi aktivitasnya. Itulah sebabnya seorang advokat tidak akan dapat berperan secara maksimal dalam menegakkan nilai ideal keadilan di tengah belantara penegakan hukum jika tidak bergabung dalam suatu organisasi profesi.

*)Shalih Mangara Sitompul, adalah seorang advokat/Wakil Ketua Umum DPN PERADI.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait