The Days of Living Dangerously
Tajuk

The Days of Living Dangerously

​​​​​​​Vaksin dan obat akan menjadi senjata terakhir karena mereka masih dalam perjalanan yang belum jelas betul destinasinya.

RED
Bacaan 11 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Lomba cepat produksi vaksin Covid-19 pada detik ini masih berlangsung dengan ketat. Produsen obat-obatan Amerika Serikat, Eropa, Inggris (kerja sama Oxford University dan AstraZeneca), dan Tiongkok serta Rusia, juga Korea Selatan, berlari super cepat, beberapa dengan bahu saling merapat menuju garis akhir. Pada saat ini ada sekitar 115 vaksin sedang dikembangkan dalam berbagai tahapan. Sebagian sudah pada level pengujian tahap 3 dan awal produksi masal. Pada umumnya, untuk menjaga tingkat keamanannya, vaksin dibuat dalam waktu 10-15 tahun melalui tahapan pra-klinik, tahap 1 (dicobakan pada 10-15 orang), tahap 2 (dicobakan pada ratusan orang) dan tahap 3 (dicobakan pada ribuan orang), dan terakhir tahap implementasi (tes akhir, perizinan otoritas kesehatan, persiapan produksi dan kemudian produksi). 

Proses penemuan dan pembuatan vaksin yang tercepat sampai saat ini dalam rekor dunia kesehatan memakan waktu 5 tahun (ebola). Untuk Covid-19, para ahli dan produsen ingin melakukannya kurang dari satu tahun. Lomba harus selesai dalam waktu kurang dalam 1 tahun, apalagi melihat perkembangannya bahwa pada saat ini sudah ada 30.675.675 orang terjangkit di seluruh dunia dan 954.417 kematian (WHO: 20 September 2020), yang terus bertambah menit demi menit, dari seluruh pelosok dunia. 

Dari berita yang kita terima, pada saat ini ada 6 produsen dari beberapa negara sudah berada pada tahap 3 proses pembuatan vaksin, yaitu tiga dari Tiongkok (2 Sinopharm dan 1 Sinovac Biotech), 1 hasil kerja sama antara University of Oxford dan AstraZeneca di Inggris, dan 2 dari Amerika Serikat (Moderna dan Pfizer). Presiden Putin pada tanggal 11 Agustus mengumumkan vaksin Rusia yang dinamakan Sputnik V (menggunakan nama satelit pertama Rusia yang mengelilingi bumi dari luar angkasa), sebagai vaksin pertama anti Coronavirus 19 yang digunakan pada manusia secara luas. Rusia tiudak mengumumkan data ilmiah dan proses percobaannya, sehingga banyak ahli, termasuk Dr Anthonhy Fauci, menduga bahwa sejumlah proses baku pembuatan vaksin ditinggalkan para ahli Rusia untuk alasan kedaruratan atau lainnya.   

Kita juga membaca berita bahwa Astra Zenecca, produsen Inggris, sempat menghentikan sementara uji cobanya karena ada seorang peserta uji coba yang menunjukkan gejala sakit serius pada tulang belakang yang penuh dengan syaraf sensitif. Berita terakhir, otoritas kesehatan Inggris sudah mengizinkan uji coba diteruskan. Kita paham bahwa standar uji coba yang tinggi di Inggris mengharuskan itu dilakukan untuk kepentingan keselamatan seluruh konsumen. 

Di AS, kita juga membaca produsen obat Pfizer mengklaim bahwa pada bulan Oktober 2020, hasil uji coba mereka sudah akan menunjukkan hasilnya, dan US CDC sudah meminta para gubernur negara bagian untuk menyiapkan sistem distribusinya, dengan kemungkinan bulan November injeksi masal sudah dapat mulai dilakukan di seluruh Amerika. Kita juga tahu bahwa percepatan di Amerika ini didorong oleh kepentingan kampanye Presiden Trump untuk memenangkan pemilu November 2020 mendatang untuk masa jabatan keduanya. Sungguh aneh karena pada awalnya Trump, sampai baru-baru ini, tidak menganggap -bahkan dengan nada melecehkan para ahlinya sendiri- bahwa Covid-19 membahayakan masyarakat Amerika. Pada saat ini sudah lebih dari 6,66 juta orang di AS terjangkit dan lebih dari 197.000 tewas karena Covid-19. Dan penularan masih secara masif terjadi di sejumlah negara bagian.

Tiongkok sebagai negara yang wilayahnya di Wuhan menjadi asal mula wabah, menggunakan semua sarana dan prasarana yang serba gigantik dan masif untuk memenangkan lomba ini. Sebagai "korban" pertama, Tiongkok lebih siap, dan keberhasilannya menekan pandemi di wilayahnya menjadi cukup bukti akan keseriusan Tiongkok untuk melindungi 1,4 miliar rakyatnya. Garis komando dan cara pengambilan keputusan yang tersentralisasi di satu atau segelintir orang di pusat kekuasaan, dalam hal ini Partai Komunis Tiongkok, menjadikan upaya itu menjadi lebih masif, terstruktur dan efektif dibandingkan dengan negara lain manapun. Pada saat ini sudah ada 3 produsen obat di Tiongkok yang sudah menyelesaikan uji coba tahap 3, kemampuan produksi mereka rata-rata untuk setiap produsen antara 100-300 juta dosis setahun. Tiongkok berbagi teknologi dengan sejumlah negara lain termasuk Indonesia untuk memproduksi vaksin di negara-negara lain di luar Tiongkok. 

AstraZeneca telah menandatangani perjanjian dengan sejumlah negara termasuk AS dan Inggris serta sejumlah organisasi untuk memproduksi 2 miliar dosis vaksin, yang dijanjikan mulai diserahkan pada bulan September ini. Pemerintah AS telah menginjeksikan miliaran dolar dana ke perusahaan-perusahaan yang memproduksi vaksin seperti AstraZeneca, Novavax, Pfizer-BioNTech, Johnson & Johnson, Moderna, dan usaha patungan Sanofi dan GSK untuk memenangkan lomba ini.  

Terlepas dari niat baik untuk melindungi warganya dari bahaya Covid-19, dalam jumlah berapapun vaksin akan segera diproduksi, banyak ahli meramal bahwa tidak akan semua penduduk dunia bisa mendapat vaksin. Survei CNN baru-baru ini menyimpulkan bahwa hanya 66% dari warga Amerika akan mendapat vaksin setelah nanti vaksin tersedia. AS, negara raksasa dengan dana berlimpah dan infrastruktur canggih hanya bisa melindungi 66% dari warganya. Bisa dibayangkan, bagaimana negara berkembang dengan dana terbatas dan dukungan infrastruktur yang minim serta kondisi geografis yang unik bisa melakukan perlindungan yang sama kepada warganya. 

Masalah lainnya, seberapa efektif vaksin yang segera tersedia ini bisa melindungi mereka yang sudah mendapatkan vaksin. Bagaimana mutasi virus ini terjadi di sejumlah lokasi, berapa kali dan berapa banyak dosis harus diberikan, kepada orang seperti apa (umur, kondisi kesehatan) ini bisa diberikan, berapa lama masa efektif perlindungannya, dan apa efek samping jangka pendek, menengah dan panjangnya. Ini semua tidak ada satupun negara, organisasi dan ahli yang bisa menjawabnya saat ini.  Para ahli mempelajari semua ini sambil mengambil tindakan-tindakan kedaruratan. Apa yang dilakukan oleh suatu rumah sakit di New York, Teheran, Jakarta, Wuhan, Milan dan Seoul untuk merawat pasien mereka mungkin akan berbeda. Dunia seperti berjalan dengan jarak pandang 1 meter di depan, setiap langkah akan diperhitungkan dengan cara dan reaksi yang berbeda. 

Umat manusia, dalam sejarah modern, berhasil mengendalikan hanya satu penyakit, yaitu cacar air (smallpox) dengan vaksin, itupun memakan waktu ratusan tahun. Tentu teknologi sekarang jauh lebih maju, dan jangka waktu itu bisa dipersingkat dengan semua metoda baru yang canggih. Meskipun demikian tetap tidak ada yang bisa tahu, paling tidak sekarang, berapa lama kita akan berhasil mengatasi pandemi Covid-19. Para ahli mengatakan bahwa Covid-19 akan tetap bersama kita sampai jangka waktu yang lama, seperti halnya virus influensa.

Setiap negara, setiap komunitas, besar dan kecil kini mulai melakukan adaptasi dengan pandemi ini. Yang harus menjadi kesepakatan bersama kiranya dapat disederhanakan seperti ini:

a) Sejumlah negara berhasil menekan laju penyebaran virus ini (Tiongkok, Korsel, Taiwan, New Zealand, Vietnam, Rwanda), tetapi sebagian negara masih berjuang keras melandaikan peningkatan infeksi (AS, Brazil, India, Afrika Selatan, dan juga Indonesia). Artinya, penekanan jumlah infeksi sampai kemudian melandai dan sedapat mungkin mengecil bisa berlangsung sampai 2 tahun ke depan, yang mengharuskan semua penduduk dunia, tanpa kecuali, mengubah cara hidupnya untuk selalu waspada akan kemungkinan terinfeksi. Cara hidup, cara bekerja, cara bersosialisasi, hubungan antar keluarga, cara pemerintah dan lembaga negara bekerja dan berkomunikasi, cara dunia usaha melakukan kegiatannya, dan sikap pribadi kita masing-masing dalam hubungannya dengan "yang bukan saya", menjadi berubah dan harus disesuaikan. Kalau perubahan ini, yaitu ketaatan akan protokol anti penularan Covid-19 dilakukan oleh setengah saja dari penduduk dunia, maka penekanan penularan bisa dilakukan secara perlahan, apalagi kalau kita bisa mendisiplinkan 70% lebih penduduk dunia; maka penurut para ahli kita dalam 2-3 tahun ke depan akan bisa menundukkan virus ini.

b) Banyak terjadi perdebatan dalam kebijakan penanganan krisis ini mengenai apakah pandemi ini harus ditangani sebagai suatu krisis kesehatan atau krisis ekonomi, dan mana yang harus didahulukan penanganannya. Perkembangan dunia saat ini menunjukkan kecenderungan yang mendahulukan penanganan krisis ini sebagai krisis kesehatan, terlepas diakui atau tidak, atau dilaksanakan dengan efektif atau tidak di lapangan. Perdebatan ini harus dihentikan. Kita sadar bahwa tidak mungkin kita membangun ekonomi kalau masyarakatnya sakit, takut berinteraksi, dan hanya memikirkan keselamatan sendiri. Prioritas utama harus diutamakan menangani masalah kesehatan, dengan biaya berapapun sepanjang akuntabilitas terjaga. Ketika masyarakatnya kembali sehat, walaupun belum seluruhnya, angkatan kerja yang sehat dan produktif akan mampu membangun kembali ekonomi yang babak belur.

Obsesi bahwa suatu negara harus menjadi negara terdepan ekonominya dalam forum G-20 atau ukuran lain harus dilupakan sementara ini. Para pengambil kebijakan, dan kita yang mengawasi, harus mulai sadar dan merasakan sendiri pilu dan sedihnya bahwa orang-orang yang kita kenal baik, bahkan mungkin anggota keluarganya, satu persatu meninggalkan kita karena virus ini. Ini harus dijadikan pemicu untuk memfokuskan kita pada usaha menyehatkan masyarakat kita dan mendidik mereka untuk hidup dengan cara baru yang lebih bertangung jawab untuk diri sendiri dan sekitar kita. Ketika saat ini jumlah dokter kita yang meninggal karena virus ini sudah mencapai 115 orang dan perawat kita 78 orang, kita merenung bahwa kehilangan satu saja dari mereka adalah kehilangan besar buat kita. Mereka bukan statistik, mereka adalah para pahlawan penyelamat di garis terdepan yang harus dilindungi. Kehilangan mereka akan dapat melumpuhkan sistem kesehatan kita. Kehilangan mereka akan mengurangi tingkat keberhasilan kita mengerem laju penularan dan kematian karena virus ini. Jadi berhentilah berdebat mana yang lebih penting, dan tunjukkan pemihakan pada penanganan krisis kesehatan dengan kebijakan dan perbuatan nyata.

c) Pengurangan laju penularan tersebut mungkin bisa dipercepat dengan ditemukannya vaksin sekali suntik yang efektif dengan masa proteksi yang cukup panjang. Sampai dengan saat ini, jaminan itu belum ada. Vaksin ternyata punya bendera, punya nasionalitas, sarat kepentingan menomor-satukan negaranya sendiri. Banyak negara dengan kemampuan untuk membuat dan memproduksi vaksin dalam jumlah besar mengajukan klaim bahwa ini adalah vaksin mereka dan ikut pula diperlombakan. Kita membaca bahwa AS melancarkan "Operation Warp Speed" di mana mereka mengerahkan mega dana dan semua upaya untuk memborong vaksin dan obat-obatan dari sumber manapun di dunia. Kita, juga banyak negara lain, tidak akan mampu melakukan itu. Pertama, dana kita terbatas. Kedua, kita belum mampu membuat dan memproduksi sendiri vaksin 'merah-putih". Dan ketiga, akses kita ke negara produsen lain, baik dengan program G to G, G to B atau B to B, tidak akan bisa mengumpulkan vaksin sebanyak 265 juta atau dua kalinya (kalau harus disuntikkan dua kali) dalam waktu singkat. 

Pemerintah mengumumkan bahwa kita akan mendapatkan 20-30 juta vaksin dari Tiongkok pada akhir tahun ini. Pertanyaan pertama, kalau dibutuhkan dua kali injeksi, maka ini hanya bisa dilakukan untuk 10-15 juta warga Indonesia. Pertanyaan kedua, kepada siapa vaksin sejumlah tersebut pertama kali akan diberikan? Jawaban paling logis tentu itu akan diberikan kepada para tenaga kesehatan yang menjadi ujung tombak perang kita melawan covid-19. Sisanya, akan diberikan kepada mereka yang menurut para pengambil keputusan mempunyai risiko tertinggi kedua setelah tenaga kesehatan atau dianggap punya jabatan atau fungsi penting di masyarakat. Di sinilah masalah bisa timbul, karena pengambil keputusan harus memilih siapa mereka. Mereka bisa saja Presiden dan menteri kabinetnya serta para pejabat atau petinggi negara, anggota parlemen, penegak hukum, pengusaha besar, dan lain-lain. Mereka yang tidak atau belum mendapat giliran, dua ratus juta lebih yang terdaftar dalam sistem kesehatan (BPJS) dan beberapa puluh juta lainnya, harus menunggu dan antri sejak awal 2021 sampai akhir 2021 atau mungkin lebih lama, tergantung kapan vaksin selanjutnya akan diterima. Kalau saja virus kemudian bermutasi, atau vaksin ternyata hanya efektif untuk jangka waktu singkat (3-6 bulan), proses yang sama akan diulang lagi. 

Mungkin yang dibayangkan banyak orang adalah begitu mudahnya semua proses ini dilakukan. Banyak pengamat sudah membayangkan bahwa proses ini semua membutuhkan: (a) vaksin yang sudah terbukti efektif dengan efek samping ringan, (b) ketersediaan sistem produksi yang canggih dan berskala besar, dan berproduksi tanpa henti, (c) ketersediaan bahan baku vaksin dalam jumlah luar biasa besar dan tersedia dalam waktu singkat, (d) ketersediaan botol dan boks penyimpan setiap vaksin dalam jumlah luar biasa besar, (e) tempat penyimpanan vaksin dengan mesin pendingin sejak dari pabrik sampai dengan rumah sakit atau Puskesmas dimana vaksin disuntikkan, (f) pengangkutan ratusan juta atau mungkin milyaran boks vaksin dari tempat produksi sampai ke rumah sakit atau Puskesmas (pesawat, truk, dan alat pengangkut lain yang dibuat atau dimodifikasi khusus untuk pengangkutan vaksin), dan (g) terakhir mungkin bagaimana menyediakan infrastruktur dan memobilisasi tenaga kesehatan yang bisa menyuntikkan vaksin ke ratusan juta penduduk dalam waktu cukup singkat. 

Semua itu membutuhkan keputusan yang tepat, biaya dan sumber daya yang luar biasa besar, manajemen yang rumit, jaringan logistik yang perlu dibangun ulang atau bahkan baru, kerja lapangan, dan tantangan di lapangan yang sangat beragam dan dinamis. Belum lagi faktor sosial, politik dan budaya yang mungkin bisa menghambat vaksinasi, termasuk penolakan dari sekelompok orang yang menolak vaksinasi.

d) Yang menjadi ciri khas kita juga adalah persoalan manajemen penanganan krisis yang selalu sukar untuk ditata dan dikelola karena persoalan kekuasaan, keterbatasan anggaran, ego sektoral dan lain-lain. Sejak Presiden mengumumkan adanya virus ini di Indonesia pada awal bulan Maret 2020, kebijakan dan pejabat yang ditunjuk untuk mengelola krisis gonta-ganti. Badan ini dan itu dibentuk dengan kewenangan saling bersimpangan. Kebingungan dan kepanikan pemerintah yang kini diakui, harusnya hanya bisa diberi toleransi untuk waktu yang singkat karena kita sadar kita tidak punya kemewahan untuk hidup lama dengan virus ini, yang berakibat pada jumlah yang terjangkit makin sulit dikendalikan, kematian meningkat, dan akhirnya ekonomi dan aspek kehidupan lainnya juga akan melemah. Dalam kondisi begini, korbannya adalah semua anggota masyarakat tanpa pandang bulu, dengan derita terbesar ada pada anggota masyarakat dengan ekonomi lemah karena ketidak mampuan mereka untuk mencari alternatif perawatan kesehatan dan sekaligus memberi nafkah kepada keluarganya. 

Begitu banyak usulan sudah diberikan kepada para pengambil keputusan dalam awal krisis ini. Termasuk total lockdown Jakarta dan sekitarnya, dan penutupan wilayah Indonesia selama dua sampai empat minggu pada awal pandemi. Juga usulan untuk melakukan 3 M (mencuci tangan, memakai masker dan menjaga jarak) dan 3 T (test, trace, and treat), yang sudah diajukan di awal pandemi. Ada juga usulan untuk membangkitkan partisipasi masyarakat berbasis RT/RW. Semua atau sebagian besar usulan tidak dilakukan atau dilakukan dengan setengah hati dan tindakan di lapangan yang lemah. Sebagian besar ini terjadi hanya karena tidak adanya kemampuan atau kegamangan pengambil keputusan untuk melakukan analisa dan mitigasi risiko yang cepat dan tepat, padahal contoh-contoh penanganan pandemi yang baik maupun buruk sudah tersedia dari pengalaman negara lain. Akibatnya kita semua sekarang ini berada pada titik "living dangerously", sementara vaksin dan obat-obatan yang efektif masih harus ditunggu. Satu persatu tokoh penting, anggota keluarga dan teman kita pergi karena terjangkit virus ini. Setiap keluarga dan komunitas kecil dan besar akan kehilangan orang-orang yang mereka cintai atau bahkan dijadikan sandaran, dan belum kita ketahui kapan semua ini akan berakhir. 

Sesal tentu tidak berguna, dan kini saatnya untuk berpikir dan bertindak logis. Baik untuk pengambil keputusan, petugas di lapangan, dan setiap anggota masyarakat. Kebijakan bantuan sosial dan penanganannya di lapangan perlu ditingkatkan. Puskesmas diperbaiki kemampuannya untuk menangani lonjakan pasien dan kesiapan untuk memberikan vaksin ketika vaksin tiba. Gerakan masyarakat berbasis RT/RW untuk ikut menyediakan tempat karantina dan memberikan bantuan ekonomi keluarga miskin perlu digalakkan. Peraturan pelaksanaan terkait Covid-19 perlu dirinci untuk mengenakan sanksi lebih tegas kepada pelanggar yang menimbulkan risiko terhadap dirinya, keluarga dan orang lain berupa hukuman kurungan dan/atau denda yang besar, bukan dengan hukuman kerja sosial yang tanpa basis hukum dan tidak efektif. Ketika anjuran sosial, arahan tokoh masyarakat, perintah ulama, dan edukasi lewat media gagal untuk menekan pandemi, hukum harus mulai bekerja dengan tegas. Baik untuk anggota masyarakat yang melanggar maupun untuk petugas yang gagal atau lalai melaksanakan disiplin masyarakat. 

Sejumlah ahli mengatakan bahwa perlindungan kita yang paling efektif saat ini adalah masyarakat melakukan 3 M, pemerintah melaksanakan 3 T, dan semua melakukan penghindaran 3 K (kontak dekat, kerumunan dan kamar atau ruang tertutup) tentu dengan segala terjemahannya dalam aksi yang efektif. Vaksin dan obat akan menjadi senjata terakhir karena mereka masih dalam perjalanan yang belum jelas betul destinasinya. Kalau hanya itu yang sementara yang bisa kita lakukan, sebaiknya komitmen bangsa ini harus dijadikan semangat perlawanan baru, dan itu tugas dari setiap manusia Indonesia yang perlu disadarkan bahwa penderitaan dan pengorbanan setahun dua tahun yang kita lakukan untuk membasmi virus dengan cara-cara tadi ini mungkin merupakan suatu langkah terpenting kita untuk menyelamatkan masa depan bangsa dan peradaban Indonesia.

ats, Sentul 22 September 2020

Tags:

Berita Terkait