Upah Minimum 2022 Lebih Rendah dari Inflasi Diprotes Buruh
Terbaru

Upah Minimum 2022 Lebih Rendah dari Inflasi Diprotes Buruh

Formula penghitungan upah minimum dalam PP No.36 Tahun 2021 tentang Pengupahan yang mengatur batas atas dan batas bawah dari nilai inflasi wilayah dinilai justru tidak menaikkan, tapi malah bisa menurunkan upah minimum.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Sejumlah serikat buruh berunjuk rasa di depan Balai Kota Jakarta, Selasa (26/10/2021) menuntut pemerintah untuk menaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2022 sebesar 10 persen. Foto: RES
Sejumlah serikat buruh berunjuk rasa di depan Balai Kota Jakarta, Selasa (26/10/2021) menuntut pemerintah untuk menaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2022 sebesar 10 persen. Foto: RES

Menteri Ketenagakerjaan telah menerbitkan Surat Edaran No.B-M/383/HI.01.00/XI/2021 tentang Penyampaian Data Perekonomian dan Ketenagakerjaan Dalam Penetapan Upah Minimum Tahun 2022. Surat Edaran itu memuat sejumlah data variabel yang digunakan dalam menghitung kenaikan upah minimum 2022 sesuai formula yang diatur dalam PP No.36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.

Presiden KSPI, Said Iqbal, mengatakan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menyebut kenaikan upah minimum tahun 2022 rata-rata 1,09 persen. Mengacu data inflasi September 2020-September 2021 per provinsi sebagaimana termaktub dalam surat edaran itu dapat dilihat sebagian besar provinsi inflasinya lebih dari 1,09 persen. Inflasi paling rendah hanya di provinsi Kalimantan Utara 0,37 persen, dan Papua -0,40 persen.

Berdasarkan hal tersebut, Iqbal menyebut rezim upah murah yang digunakan saat ini lebih buruk dari era Presiden Soeharto. “Kami menolak (memprotes keras, red) kenaikan upah minimum tahun 2022 baik upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK) sebesar 1,09 persen,” kata Iqbal dalam pers rilis secara daring, Selasa (16/11/2021). (Baca Juga: Ini Besaran UMP 2022, Rekomendasi Dewan Pengupahan Jakarta)  

Iqbal mencatat sedikitnya 4 hal yang menyebabkan upah minimum 2022 lebih rendah dari inflasi. Pertama, rumus dalam penyesuaian upah minimum menggunakan variabel batas atas dan bawah upah minimum pada wilayah yang bersangkutan. Padahal, UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja hanya memandatkan perhitungan upah minimum menggunakan variabel pertumbuhan ekonomi atau inflasi.

Kedua, upah minimum yang dimandatkan Konvensi ILO, menurut Iqbal sebagai jaring pengaman. Umumnya di berbagai negara hanya ada 1 besaran upah minimum, kecuali untuk upah minimum sektoral. Tidak dikenal istilah batas atas dan bawah upah sebagaimana diatur PP No.36 Tahun 2021.

Ketiga, penghitungan upah minimum menggunakan UU No.11 Tahun 2020 dan PP No.36 Tahun 2021 mencederai Indonesia sebagai negara hukum. Iqbal menyebut UU No.11 Tahun 2020 telah diajukan uji materi dan masih berproses di MK. Mengingat belum ada putusan MK yang sifatnya final dan mengikat, maka pelaksanaan UU No.11 Tahun 2020 dan peraturan turunannya harus ditunda.

Karena itu, KSPI masih menggunakan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan peraturan turunannya (PP No.78 Tahun 2015, red) dalam menghitung kenaikan upah minimum tahun 2022. “Hasil survei yang dilakukan KSPI pada 10 provinsi dimana setiap provinsi dilakukan survei di 5 pasar, dihasilkan rata-rata kebutuhan hidup layak (KHL) untuk kenaikan upah minimum 2022 sebesar 7-10 persen,” ungkap Iqbal.

Keempat, dengan menggunakan batas atas dan bawah upah minimum, Iqbal mengklaim tidak ada kenaikan upah minimum yang signifikan. Sebaliknya, yang terjadi malah penurunan upah minimum. Dia memberi contoh upah minimum kota Depok tahun 2021 sebesar Rp4,3 juta, jika dihitung menggunakan formula PP No.36 Tahun 2021 batas atas Rp5,7 juta dan batas bawah Rp2,8 juta. Ada potensi kalangan pengusaha memilih untuk membayar upah sesuai batas bawah upah minimum yakni Rp2,8 juta untuk kota Depok. Sementara kenaikan UMK Depok tahun 2022 sebesar 0,86 persen dibawah inflasi provinsi Jawa Barat 1,76 persen.

Menurut Iqbal, variabel batas atas dan bawah upah minimum sebagaimana diatur PP No.36 Tahun 2021 itu tidak ada cantolan hukumnya dalam UU No.11 Tahun 2021. Pemerintah juga tidak melakukan survei bersama dan tidak membahas formula penghitungan upah minimum bersama buruh. KSPI bersama serikat buruh lainnya berencana untuk menggelar demonstrasi besar untuk memprotes kenaikan upah minimum 2022.

“Upah minimum 2022 lebih rendah dari inflasi, ini artinya buruh disuruh menanggung sendiri kekurangan upah karena tidak bisa menutup inflasi,” ujarnya.

Sekjen OPSI, Timboel Siregar, menilai pemerintah (pusat) tidak perlu mengintervensi kewenangan Gubernur untuk menetapkan upah minimum. Kewenangan itu sesuai mandat yang diberikan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dia yakin para Gubernur sangat mengetahui kondisi ekonomi wilayahnya, begitu juga dalam menetapkan upah minimum. Formula penghitungan upah minimum sebagaimana diatur PP No.36 Tahun 2021 sifatnya hanya imbauan.

“Jika Gubernur dipaksa mengikuti formula dan rumus penghitungan upah minimum PP No.36 tahun 2021 berarti kewenangan Gubernur dikerdilkan. Gubernur hanya sebagai ‘tukang stempel’ saja. Kewenangan Gubernur habis dikebiri oleh formula dan rumus-rumus PP No.36 Tahun 2021,” kritiknya.

Timboel melihat Gubernur berkepentingan terhadap penetapan upah minimum untuk mendukung konsumsi masyarakat di wilayahnya. Penetapan upah minimum itu diharapkan dapat meningkatkan daya beli masyarakat terutama buruh agar memiliki kehidupan yang lebih baik, sehingga dapat menggerakan barang dan jasa dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi.

Variabel yang digunakan dalam formula penghitungan upah minimum PP No.36 Tahun 2021 berpotensi menyebabkan nilai batas atas upah minimum relatif turun. Nilai batas atas yang relatif turun itu akan berdampak pada kenaikan upah minimum di bawah inflasi.

Simulasi penghitungan upah minimum dengan menggunakan data yang tercantum dalam edaran menaker itu menunjukan kenaikan upah minumum di berbagai wilayah sebagian besar di bawah 1 persen dan ada yang tidak naik karena nilai batas atas di bawah besaran upah minimum tahun berjalan.

“Kenaikan upah minimum di bawah 1 persen atau tidak naik, sementara nilai inflasi di atas 1 persen memastikan daya beli buruh/pekerja dan keluarganya akan menurun. Upah buruh/pekerja tergerus inflasi,” tegas Timboel.

Timboel berpendapat Gubernur pasti tidak ingin daya beli masyarakatnya rendah karena tergerus inflasi. Jika itu terjadi maka rata-rata konsumsi per kapita di wilayah tersebut cenderung akan terus mengalami penurunan. Hal ini menjadi “lingkaran setan” bagi perekonomian provinsi atau kabupaten/kota.

“Saya berharap para Gubernur bisa melaksanakan kewenangan yang diberikan oleh UU Cipta Kerja dengan melihat kondisi wilayahnya secara obyektif, tidak terpaku untuk mematuhi formula dan rumus-rumus di PP No.36 Tahun 2021,” harapnya.

Tags:

Berita Terkait