Perda Blitar Diadukan ke MK
Berita

Perda Blitar Diadukan ke MK

MK mempersilakan ICRP uji materi UU Sisdiknas.

ASH
Bacaan 2 Menit
Ketua MK Moh Mahfud MD bertemu dengan Organisasi lintas agama di gedung MK. Foto: Sgp
Ketua MK Moh Mahfud MD bertemu dengan Organisasi lintas agama di gedung MK. Foto: Sgp

Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) menyambangi MK. Organisasi lintas agama ini menemui Ketua MK Moh Mahfud MD untuk konsultasi tentang konstitusionalitas SK Wali Kota Blitar No. 8 Tahun 2012 dan Kanwil Kementerian Agama Blitar. Kebijakan itu, mewajibkan setiap peserta didik beragama Islam mampu membaca Al-Qur’an dan mewajibkan enam sekolah Katolik memberikan pelajaran agama non Katolik.

Kebijakan itu dinilai diskriminatif terutama bagi agama minoritas di luar enam agama yang diakui pemerintah. Menurut pandangan ICRP, akar persoalannya terletak pada Pasal 12 ayat  (1) dan Pasal 55 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

“Beberapa tahun terakhir muncul peraturan daerah, sebelum SK Wali Kota Blitar itu yang mewajibkan siswa didik (SD, SMP, SMA) mengikuti tes baca-tulis Al-Qur’an di sekolah-sekolah umum. Perda seperti ini sudah semacam ‘virus’ di satu daerah, diikuti daerah lain,” kata Ketua Umum ICRP, Musdah Mulia di Gedung MK, Senin (28/1).

Menurutnya, kebijakan SK Wali Kota Blitar itu telah menyulut konflik antara pemerintah daerah (Pemda) dan pihak yayasan sekolah Katolik lantaran menolak kebijakan itu. Bahkan, pemda sempat mengancam akan menutup sekolah Katolik jika tidak mentaati SK Wali Kota Blitar itu. Akhirnya, yayasan sekolah Katolik terpaksa akan memberikan layanan pelajaran agama non Katolik dengan cara menitipkan siswa beragama non Katolik ke sekolah lain.

Musdah mengungkapkan tes kewajiban baca tulis Al-Qur’an ini juga berlaku pada calon pengantin, seleksi PNS, promosi jabatan di beberapa daerah. Kebijakan ini merembet ke sekolah-sekolah swasta dan Katolik yang memberikan pelajaran agama non Katolik. “Kebijakan ini merugikan agama minoritas dan agama yang tidak diakui karena regulasi pemerintah hanya mengakui enam agama,” kata dia.

Dia mengaku menerima keberatan dari penganut kepercayaan dan agama lokal karena pemerintah tidak menyediakan pendidikan pelajaran agama bagi kelompok mereka. “Mereka keberatan terhadap UU Sisdiknas, karena tidak mengakomodir haknya untuk mendapatkan pendidikan agama sesuai keyakinannya di sekolah-sekolah. Apalagi urusan agama menjadi kewenangan pemerintah pusat sesuai UU Pemda,” katanya.

Pasal 12 ayat (1) menyebutkan setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak (a) mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Pasal 55 ayat (1) menyebutkan masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.

Halaman Selanjutnya:
Tags: