Begini Pandangan Masyarakat Sipil Terhadap Putusan MK Soal UU Cipta Kerja
Terbaru

Begini Pandangan Masyarakat Sipil Terhadap Putusan MK Soal UU Cipta Kerja

Putusan MK dinilai sebuah kompromi. Bila memang ada pelanggaran serius, seharusnya MK memutus UU Cipta Kerja inkonstitusional.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
acara Hukumonline Headline Talks bertemakan Special Edition Cipta Kerja Updates-Pandangan Masyarakat Sipil terhadap Putusan MK UU Cipta Kerja pada Rabu (8/12). Foto: MJR
acara Hukumonline Headline Talks bertemakan Special Edition Cipta Kerja Updates-Pandangan Masyarakat Sipil terhadap Putusan MK UU Cipta Kerja pada Rabu (8/12). Foto: MJR

Kepastian hukum mengenai Undang Undang 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pasca-putusan Mahkamah Konstitusi No.91/PUU-XVIII/2020 menjadi pertanyaan berbagai pihak khususnya masyarakat sipil. Namun, putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja sebagai inkonstitusional bersyarat dianggap masih kompromistis terhadap pemerintah dan menimbulkan multitafsir.

Pandangan tersebut disampaikan Kepala Divisi Advokasi Lembaga Bantuan Hukum Bandung, Muit Pelu dalam acara Hukumonline Headline Talks bertemakan Special Edition Cipta Kerja Updates-Pandangan Masyarakat Sipil terhadap Putusan MK UU Cipta Kerja pada Rabu (8/12).

“Kami anggap putusan MK ini kompromi. Karena MK tidak tegas kalau ini memang pelanggaran serius seharusnya inkonstitusional saja,” jelas Muit.

Menurut Muit, kepastian hukum UU Cipta Kerja ini bukan hanya berdampak pada investasi, tapi lebih penting yaitu nasib masyarakat secara luas. Dia mencontohkan dalam UU Cipta Kerja mengatur mengenai upah dan izin lahan. Pengaturan tersebut berdampak langsung kepada masyarakat profesi buruh dan petani. Sehingga, dia mempertanyakan nasib masyarakat setelah putusan MK tersebut. (Baca: Saran Akademisi ke Pemerintah Terkait Perbaikan UU Cipta Kerja Pasca-Putusan MK)

“UU Cipta Kerja ada 11 klaster sepertinya semua perlu didiskusikan kembali dan bermasalah. Yang atur hajat hidup semua bermasalah, contoh penetapan upah itu sangat penting untuk kehidupan. Kalau gunakan PP 36/2021 (Pengupahan) itu dikritisi serikat buruh dan masyarakat sipil karena sama saja terapkan politik upah murah. Perlindungan tidak ada. Belum lagi bicara jam kerja, out-sourcing. Dulu pengaturan sebelumnya out-sourcing hanya dapat dilakukan dua kali setelah itu pegawai tetap dan bukan kegiatan inti. Tapi setelah diubah, pekerjaan inti boleh out-sourcing sehingga enggak ada batas lagi,” jelas Muit.

Selain itu, dia juga meminta pemerintah memperbaiki penyusunan UU Cipta Kerja dari sisi formil dan materiil. Hal ini karena muatan ketentuan dalam UU Cipta Kerja cenderung berpihak pada dunia usaha dan tidak memberi perlindungan kepada masyarakat. Dia menyampaikan dengan pemberlakuan UU Cipta Kerja semakin rentan masyarakat adat kehilangan lahan karena investasi.

Melihat berbagai ketentuan UU Cipta Kerja yang berdampak buruk terhadap masyarakat sipil, Muit mengatakan pihaknya sejak awal menolak penyusunan aturan tersebut.

Tags:

Berita Terkait