Belakangan ini banyak dikabarkan di sejumlah daerah terjadi politik dinasti seperti suami/istri/anak/menantu ikut mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Apa sebenarnya politik dinasti itu dan sudah adakah aturannya di Indonesia?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Secara singkat, politik dinasti adalah kekuasaan yang dijalankan oleh segelintir orang yang memiliki hubungan keluarga dan diwariskan secara turun temurun.
Politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih memiliki kaitan dalam hubungan keluarga. Politik dinasti lebih identik dengan kerajaan. Kekuasaan diwariskan secara turun-temurun dari ayah kepada anak dan seterusnya, agar kekuasaan tetap berada di lingkaran keluarga. Dengan kata lain, jika ditanya politik keluarga disebut apa, jawabannya adalah politik dinasti.
Politik dinasti menjadi masalah serius ketatanegaraan kita karena dianggap menjadi salah satu penyebab korupsi. Praktik politik dinasti dinilai berdampak negatif bagi masyarakat, sebab cenderung membuat marak korupsi, tidak demokratis, dan lebih mementingkan politik daripada kepentingan rakyat, sebagaimana disarikan dari Legislator Jelaskan Rasio Legis Larangan Politik Dinasti.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
r. tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.
Penjelasan pasal tersebut menyebutkan yang dimaksud “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” yakni tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 kali masa jabatan.[1]
Namun Pasal 7 huruf r UU 8/2015 di atas telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015, dan menjadikan ketentuan pasal ini dibatalkan. Dengan dibatalkannya pasal tersebut, sepanjang penelusuran kami tidak ada lagi ketentuan larangan politik dinasti di Indonesia.
Lebih lanjut, disarikan dari Ini Alasan MK Hapus Pembatasan Politik Dinasti, Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat pada waktu itu menerangkan terdapat persoalan mengenai belum efektifnya pengawasan dalam penyelenggaraan pilkada terutama ketika pencalonan melibatkan keluarga petahana. Terkait ini, tidak setiap pembedaan serta-merta dianggap diskriminasi. Namun, kasus a quo, tampak nyata kalau pembedaan tersebut dibuat semata-mata mencegah kelompok orang tertentu (anggota keluarga kepala daerah petahana untuk menggunakan hak konstitusionalnya).
Hal serupa juga disampaikan Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas Prof Saldi Isra dalam Ahli: Larangan Politik Dinasti Tidak Proporsional menilai membatasi hak politik keluarga petahana dalam kontestasi pilkada merupakan pengaturan yang jauh dari proporsional dan berlebihan sekalipun hanya satu periode. Sebab, seharusnya objek yang dibatasi petahana yang memegang jabatan politiknya kepala daerah atau wakilnya, bukan keluarga petahana (hal. 1).
Sebelumnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 Mahkamah Konstitusi telah mempertimbangkan hak konstitusional warga untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate) merupakan hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang maupun konvensi internasional.
Di sisi lain, pengaturan larangan terhadap politik dinasti justru dianggap bertentangan dengan:
Everyone has the right to take part in the government of his country, directly or through freely chosen representatives.
Arti terjemahan bebasnya adalah setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya sendiri, baik dengan langsung maupun dengan perantaraan wakil-wakil yang dipilih dengan bebas.
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”): Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum.
Pasal 15 UU HAM: Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.
Pasal 43 ayat (1) UU HAM: Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.