Mohon penjelasannya bagaimana cara mendapatkan kekebalan diplomatik perwakilan diplomatik? Apa saja yang menjadi hak kekebalan diplomatik dan bagaimana cara mendapatkan kekebalan diplomatik?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Diplomasi adalah teknik dan prosedur pelaksanaan hubungan antar negara. Hukum diplomatik sendiri diatur dalam VCLT 1961, yang terdiri dari seperangkat aturan dan norma hukum yang salah satunya menetapkan mengenai kekebalan dan keistimewaan yang melekat pada diplomat.
Lantas apa itu kekebalan diplomatik? Kapan kekebalan diplomatik dimulai?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran artikel dengan judul Kekebalan Diplomatik: Pengertian dan Jenis-jenisnya yang pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 8 November 2022.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Sebelum menjawab inti pertanyaan Anda, perlu dipahami terlebih dahulu arti dari diplomasi.
Kata diploma berasal dari bahasa Latin dan Yunani yaitu “surat kepercayaan”. Perkataan diplomasi kemudian menjelma menjadi istilah diplomat, diplomasi, dan diplomatik.[1]
Berikut adalah beberapa pengertian diplomasi:
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Encyclopedia Britannica
Diplomasi adalah pembinaan urusan-urusan luar negeri.[2]
Sir Ernest Satow
Diplomasi adalah penggunaan kecendekiawanan dan kebijaksanaan dalam melaksanakan dan memelihara hubungan-hubungan resmi antara pemerintah dari negara-negara yang merdeka.[3]
Sumaryo Suryokusumo
Diplomasi adalah kegiatan politik dan merupakan bagian dari kegiatan internasional yang saling berpengaruh dan kompleks, dengan melibatkan pemerintah dan organisasi internasional untuk mencapai tujuannya, melalui perwakilan diplomatik atau organ lainnya.[4]
Dari berbagai pengertian diplomasi, dapat disimpulkan bahwa diplomasi terdiri atas teknik dan prosedur pelaksanaan hubungan antar negara.[5] Salah satu pelaku yang melaksanakan diplomasi adalah diplomat.
Diplomat memiliki fungsi utama mewakili negara pengirim di negara penerima, dalam organisasi dunia dan forum internasional. Diplomat memiliki daya tarik dan keahliannya dalam melakukan advokasi guna mempengaruhi para pengambil keputusan di negara penerima. Selain itu, terhadap diplomat lainnya untuk menjalin pendekatan, agar tercipta peningkatan hubungan baik antara negara penerima dan negara pengirim.[6] Fungsi lain dari seorang diplomat dapat Anda baca selengkapnya dalam Pasal 3 VCLT 1961.
Sementara itu, hukum diplomatik menurut Jan Osmanczyk adalah cabang dari hukum kebiasaan internasional yang terdiri dari seperangkat aturan dan norma hukum yang menetapkan kedudukan dan fungsi para diplomat, termasuk bentuk organisasional dari dinas politik.[7]
Menjawab pertanyaan Anda, pada dasarnya dalam melakukan diplomasi, wakil-wakil negara agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan efisien perlu untuk diberikan hak kekebalan.[8] Hak untuk tidak diganggu gugat (the rights of inviolability) adalah mutlak diperlukan untuk melaksanakan fungsi perwakilan diplomatik secara layak.[9] Lebih lanjut, keterwakilan negara yang dianggap suci atau sancti habentur legati, merupakan ungkapan yang sudah lama dan kemudian menjiwai prinsip tidak dapat diganggu gugatnya misi diplomatik.[10]
Ketika Anda menjabat sebagai diplomat, maka Anda akan mendapatkan diplomatic immunity, yakni hak agen diplomatik yang tidak dapat diganggu gugat dalam melaksanakan tugas sebagai wakil kekuasaan negara asing. Semua agen diplomatik harus memperoleh jaminan keamanan dan kesejahteraan pada masa dinas aktif dan atas asas prinsip timbal balik negara.[11]
Pemberian kekebalan diplomatik dilakukan secara timbal-balik (reciprocity principle)yang mutlak diperlukan dalam rangka meningkatkan ataupun mengembangkan persahabatan antarnegara, tidak memandang sistem politik maupun sosial budaya yang berbeda.[12]
Lantas, apa saja yang menjadi hak kekebalan diplomatik? Berikut adalah kekebalan dan keistimewaan diplomatik sesuai dengan VCLT 1961:
Kekebalan dari kewajiban menjadi saksi (Pasal 31 ayat (2) VCLT 1961);
Kekebalan kantor perwakilan dan tempat kediaman (Pasal 22, Pasal 30 ayat (1) VCLT 1961);
Kekebalan korespondensi (Pasal 27 VCLT 1961);
Kekebalan dan keistimewaan diplomatik di negara ketiga (Pasal 40 ayat (1) VCLT 1961);
Pembebasan terhadap pajak dan bea cukai/bea masuk (Pasal 34, Pasal 36 VCLT 1961)
Pada pertengahan abad ke-18, aturan kebiasaan hukum internasional mengenai keistimewaan dan kekebalan diplomatik diperluas terhadap gedung perwakilan, segala miliknya, hingga bebas berkomunikasi bagi para diplomat. Berikut adalah beberapa perlindungan tersebut menurut VCLT 1961:
Perlindungan terhadap gedung perwakilan (Pasal 1 huruf i, Pasal 22 VCLT 1961);
Kebebasan berkomunikasi (Pasal 27 VCLT 1961);
Kebebasan bergerak (Pasal 29 VCLT 1961);
Kekebalan kediaman pejabat diplomatik (Pasal 30 VCLT 1961);
Kantong diplomatik (Pasal 27 ayat (3) dan (4) VCLT 1961);
Kurir diplomatik (Pasal 27 ayat (5) dan (6) VCLT 1961).
Kemudian, berdasarkan Pasal 37 ayat (1) VCLT 1961, kekebalan juga diberikan kepada anggota keluarga para diplomat yang tinggal bersama, kecuali mereka yang berkewarganegaraan setempat.
Lantas, bagaimana cara mendapatkan kekebalan diplomatik? Berikut ulasannya.
Mulai dan Berakhirnya Kekebalan Diplomatik
Menjawab pertanyaan Anda mengenai bagaimana cara mendapatkan kekebalan diplomatik, kami asumsikan sebagai mulainya kekebalan diplomatik. Dalam VCLT 1961 dijelaskan bahwa setiap orang yang berhak mendapat kekebalan diplomatik akan mulai menikmatinya semenjak ia memasuki wilayah negara penerima, dalam perjalanannya untuk memangku jabatannya, atau jika ia sudah berada di wilayah negara penerima, dan mulai menikmatinya sejak pengangkatannya diberitahukan kepada kementerian luar negeri/kementerian lainnya sebagaimana telah disetujui.[13]
Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 39 ayat (1) VCLT yang berbunyi:
Every person entitled to privileges and immunities shall enjoy them from the moment he enters the territory of the receiving State on proceeding to take up his post or, if already in its territory, from the moment when his appointment is notified to the Ministry for Foreign Affairs or such other ministry as may be agreed.
Lalu menurut Oppenheim, kekebalan diplomatik yang menyangkut keselamatan dan hak untuk tidak diganggu gugat/inviolability harus diberikan walaupun ia belum diterima secara resmi di negara penerima, hal ini karena kedudukan sebagai duta besar dianggap mulai berlaku sejak ia memperoleh letter of credentials dari pemerintahnya.[14]Letter of credentials adalah surat kepercayaan yang diberikan oleh pemerintah negara pengirim kepada pemerintah negara penerima yang berarti perwakilan diplomatik negara pengirim telah disetujui oleh negara penerima.[15]
Pendapat Oppenheim dapat diterima atas dasar pertimbangan sebagai berikut:[16]
Karena pemerintah negara penerima telah memberikan agreement kepada calon diplomat untuk diakreditasikan sebagai diplomat di negara penerima;
Karena kedutaan besar negara pengirim telah memberikan visa diplomatik kepada diplomat untuk masuk ke negara penerima;
Kedatangan pertama diplomat telah diberitahukan segera kepada kementerian luar negeri negara penerima.
Ketiga hal di atas secara implisit sudah dapat dianggap sebagai dasar yang kuat bagi diplomat untuk mendapatkan kekebalan diplomatik dari negara penerima.[17]
Jika kita berbicara mengenai mulainya kekebalan diplomatik, sebaiknya kita juga perlu memahami kapan kekebalan diplomatik berakhir. Pada umumnya, tugas seorang kepala misi diplomatik berakhir karena telah habis masa jabatan yang diberikan kepadanya. Tugas ini juga dapat berakhir karena ia ditarik kembali oleh pemerintah negaranya (recalled) atau bisa juga berakhir karena sang diplomat tidak disukai lagi (persona non grata).[18]
Menurut J.G. Starke, berakhirnya misi diplomatik disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:[19]
Pemanggilan kembali wakil oleh negaranya (negara pengirim);
Atas permintaan negara penerima agar pejabat diplomatik dipanggil kembali oleh negara pengirim;
Penyerahan paspor kepada wakil dan staf serta para keluarga sang diplomat pada pecahnya perang antar kedua negara yang bersangkutan;
Selesainya tugas dan misi;
Berakhirnya surat kepercayaan yang diberikan untuk jangka waktu tertentu yang telah ditentukan dalam kesepakatan.
Dengan demikian, dapat kami sampaikan bahwa diplomasi sebagai upaya untuk melaksanakan dan memelihara hubungan resmi antar pemerintah dan negara dilakukan melalui perundingan dan permusyawaratan. Dalam menjalankan diplomasi, para diplomat mendapatkan diplomatic immunity, yaitu hak untuk tidak dapat diganggu gugat dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil kekuasaan negara asing. Pejabat diplomatik berhak mendapat kekebalan diplomatik semenjak ia memasuki wilayah negara penerima, dalam perjalanannya untuk memangku jabatannya, atau jika ia sudah berada di wilayah negara penerima.
Edy Suryono dan Moenir Arisoendha. Hukum Diplomatik Kekebalan dan Keistimewaannya, Bandung: Offset Angkasa, 1986;
J. G. Starke. An Introduction to International Law. Butterworth: Oxford University Press, 1990;
Komang Sukaniasa (et.al). Penyalahgunaan Hak Kekebalan Diplomatik ditinjau dari Konvensi Wina 1961 (Studi Kasus Penganiayaan TKI oleh Pejabat Diplomatik Arab Saudi di Jerman). e-Journal Komunitas Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum, Vol. 4, No. 2, 2021;
S.M. Noor (et.al). Hukum Diplomatik dan Hubungan Internasional. Makassar: Pustaka Pena Press, 2016;
Setyo Widagdo dan Hanif Nur Widhiyanti. Hukum Diplomatik dan Konsuler. Malang: Bayumedia Publishing. 2008;
Sumaryo Suryokusumo. Hukum Diplomatik Teori dan Kasus. Bandung: Alumni, 1995;
Syahmin. Hukum Diplomatik dalam Kerangka Studi Analisis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.
[1] Syahmin. Hukum Diplomatik dalam Kerangka Studi Analisis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 3.
[2] Edy Suryono dan Moenir Arisoendha. Hukum Diplomatik Kekebalan dan Keistimewaannya. Bandung: Offset Angkasa, 1986, hal. 14.
[3] Edy Suryono dan Moenir Arisoendha. Hukum Diplomatik Kekebalan dan Keistimewaannya. Bandung: Offset Angkasa, 1986, hal. 14.
[4] Syahmin. Hukum Diplomatik dalam Kerangka Studi Analisis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 6.
[5] Edy Suryono dan Moenir Arisoendha. Hukum Diplomatik Kekebalan dan Keistimewaannya. Bandung: Offset Angkasa, 1986, hal. 14.
[6] Syahmin. Hukum Diplomatik dalam Kerangka Studi Analisis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 7.
[7] Syahmin. Hukum Diplomatik dalam Kerangka Studi Analisis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 8.
[8] Komang Sukaniasa (et.al). Penyalahgunaan Hak Kekebalan Diplomatik ditinjau dari Konvensi Wina 1961 (Studi Kasus Penganiayaan TKI oleh Pejabat Diplomatik Arab Saudi di Jerman). e-Journal Komunitas Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum, Vol. 4, No. 2, 2021, hal. 158.
[9] Syahmin. Hukum Diplomatik dalam Kerangka Studi Analisis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 136.
[10] Sumaryo Suryokusumo. Hukum Diplomatik Teori dan Kasus. Bandung: Alumni, 1995, hal. 4.
[11] Syahmin. Hukum Diplomatik dalam Kerangka Studi Analisis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 118-119.
[12] Syahmin. Hukum Diplomatik dalam Kerangka Studi Analisis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 147.
[13] Setyo Widagdo dan Hanif Nur Widhiyanti. Hukum Diplomatik dan Konsuler. Malang: Bayumedia Publishing, 2008, hal. 83-84.
[14] Syahmin. Hukum Diplomatik dalam Kerangka Studi Analisis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 147.
[15] S.M. Noor (et.al). Hukum Diplomatik dan Hubungan Internasional. Makassar: Pustaka Pena Press, 2016, hal. 41.
[16] Syahmin. Hukum Diplomatik dalam Kerangka Studi Analisis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 148.
[17] Syahmin. Hukum Diplomatik dalam Kerangka Studi Analisis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 148.
[18] Syahmin. Hukum Diplomatik dalam Kerangka Studi Analisis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 148.
[19] J. G. Starke. An Introduction to International Law. Butterworth: Oxford University Press, 1990, hal. 197.