KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Jerat Hukum Buku Anak Bermuatan Asusila

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Jerat Hukum Buku Anak Bermuatan Asusila

Jerat Hukum Buku Anak Bermuatan Asusila
Arasy Pradana A. Azis, S.H., M.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Jerat Hukum Buku Anak Bermuatan Asusila

PERTANYAAN

Beberapa kali saya membaca berita mengenai ditemukannya buku-buku anak yang memiliki konten yang bertentangan dengan nilai-nilai budi pekerti yang seharusnya diajarkan kepada anak, seperti bermuatan asusila dan sebagainya. Apakah Indonesia memiliki ketentuan mengenai standar muatan buku anak? Adakah jerat hukum bagi buku anak yang bermuatan asusila?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan mengatur bahwa penerbit berkewajiban untuk mencantumkan peruntukan buku sesuai dengan jenjang usia pembaca. Peruntukan buku dibagi menjadi tiga kategori, antara lain, buku untuk anak, remaja, atau dewasa. Jika tidak mencantumkan keterangan tersebut, maka penerbit dapat dikenai sanksi administratif.
     
    Di sisi lain, penulis dan penerbit buku anak yang bermuatan asusila ternyata dapat dijerat sanksi pidana. Bagaimana ketentuannya? Penjelasan selengkapnya dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Buku dan Sistem Perbukuan
    Pengertian buku dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan (“UU Perbukuan”), yang berbunyi:
     
    Buku adalah karya tulis dan/atau karya gambar yang diterbitkan berupa cetakan berjilid atau berupa publikasi elektronik yang diterbitkan secara tidak berkala.
     
    Selain itu, sistem perbukuan adalah tata kelola perbukuan yang dapat dipertanggungjawabkan secara menyeluruh dan terpadu, yang mencakup pemerolehan naskah, penerbitan, pencetakan, pengembangan buku elektronik, pendistribusian, penggunaan, penyediaan, dan pengawasan buku.[1]
     
    Bentuk buku terdiri atas buku cetak dan buku elektronik. Buku cetak merupakan karya tulis yang berupa teks, gambar, atau gabungan dari keduanya yang dipublikasikan dalam bentuk cetak. Sedangkan, buku elektronik merupakan karya tulis yang berupa teks, gambar, audio, video, atau gabungan dari keseluruhannya yang dipublikasikan dalam bentuk elektronik.[2] Buku berisi ilmu pengetahuan, informasi, dan hiburan.[3]
     
    Perlindungan Anak dari Konten Buku Asusila
    Karena berhubungan dengan anak, maka ketentuan hak-hak anak dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”) kemudian diubah kedua kalinya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah ditetapkan menjadi undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang juga perlu ditinjau.
     
    Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat.[4] Setiap anak juga berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.[5]
     
    Menurut hemat kami, beberapa pihak lain yang memiliki hak dan kewajiban yang secara tidak langsung berhubungan dengan konten buku anak di antaranya adalah masyarakat dan penulis. Masyarakat berhak:[6]
    1. memperoleh kesempatan untuk berperan serta dalam sistem perbukuan; dan
    2. mendapatkan kemudahan akses terhadap buku bermutu dan informasi perbukuan.
     
    Sementara itu, kewajiban masyarakat terdiri atas:[7]
    1. memelihara dan memanfaatkan fasilitas layanan dan buku yang disediakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat; dan
    2. memberikan dukungan terhadap terciptanya masyarakat belajar, masyarakat gemar membaca, dan masyarakat gemar menulis.
     
    Kewajiban dan Pertanggungjawaban Penerbitan Buku
    UU Perbukuan tidak memberi panduan spesifik perihal muatan buku anak. Namun demikian, UU Perbukuan mengatur bahwa penerbit berkewajiban untuk mencantumkan peruntukan buku sesuai dengan jenjang usia pembaca. Peruntukan buku dibagi menjadi tiga kategori, antara lain, buku untuk anak, remaja, atau dewasa.[8] UU Perbukuan juga mengatur bahwa penulis berkewajiban mencantumkan nama asli atau nama samaran pada naskah buku dan mempertanggungjawabkan karya yang ditulisnya.[9] Bentuk pertanggungjawaban, antara lain, mencakup etika dan hukum.[10]
     
    Selain itu, masalah buku anak bermuatan asusila juga dapat ditinjau dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (“UU Pornografi”). Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.[11] Dengan demikian, buku yang memenuhi kriteria di atas termasuk ke dalam kategori pornografi.
     
    Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi, setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:[12]
    1. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
    2. kekerasan seksual;
    3. masturbasi atau onani;
    4. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
    5. alat kelamin; atau
    6. pornografi anak.
     
    Terhadap larangan diatas, Pasal 7 UU Pornografi lebih lanjut menegaskan bahwa:
     
    Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
     
    Setiap orang dilarang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi.[13] Setiap orang juga berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi pornografi.[14]
     
    Sanksi Administratif
    Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU Perbukuan menerangkan bahwa:
     
    1. Penerbit yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf c sampai dengan huruf e dikenai sanksi administratif.
    2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
    1. peringatan tertulis;
    2. penarikan produk dari peredaran;
    3. pembekuan izin usaha; dan/atau
    4. pencabutan izin usaha.
     
    Berdasarkan ketentuan diatas, maka penerbit yang menerbitkan dan memperjualbelikan tanpa mencantumkan peruntukan sesuai dengan jenjang usia dapat dikenai sanksi administratif dari peringatan tertulis, hingga pencabutan izin usaha.
     
    Ancaman Pidana
    UU Perbukuan maupun UU Perlindungan Anak dan perubahannya tidak mengatur secara spesifik mengenai sanksi pidana bagi buku anak yang bermuatan asusila, maupun bagi penulis dan penerbitnya. Namun demikian, pihak yang terlibat dalam penerbitan buku anak bermuatan asusila, termasuk penulis dan penerbit, tetap dapat terjerat sanksi pidana menurut UU Pornografi.
     
    Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi dipidana dengan pidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250 juta dan paling banyak Rp6 miliar.[15]  
     
    Selain itu, Pasal 33 UU Pornografi juga mengatur bahwa pelanggaran terhadap Pasal 7 UU Pornografi dapat dijatuhi pidana sebagai berikut:
     
    Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).
                                        
    Sementara itu, setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan, atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi dipidana dengan pidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama enam tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250 juta dan paling banyak Rp3 miliar.[16]
     
    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
     

    [1] Pasal 1 angka 1 UU Perbukuan.
    [2] Pasal 5 UU Perbukuan.
    [3] Pasal 7 UU Perbukuan.
    [4] Pasal 9 ayat (1) UU 35/2014.
    [5] Pasal 10 UU Perlindungan Anak.
    [6] Pasal 8 UU Perbukuan.
    [7] Pasal 11 UU Perbukuan.
    [8] Pasal 30 huruf e UU Perbukuan dan penjelasannya.
    [9] Pasal 14 UU Perbukuan.
    [10] Penjelasan Pasal 14 huruf b UU Perbukuan.
    [11] Pasal 1 angka 1 UU Pornografi.
    [12] Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi.
    [13] Pasal 12 UU Pornografi.
    [14] Pasal 15 UU Pornografi.
    [15] Pasal 29 UU Pornografi.
    [16] Pasal 38 UU Pornografi.

    Tags

    anak
    pornografi

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara dan Biaya Mengurus Perceraian Tanpa Pengacara

    25 Apr 2024
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!