Intisari :
Print screen kata-kata atau kalimat dalam Twitter Anda dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dalam persidangan sepanjang bukti tersebut secara teknis dapat dipertanggungjawabkan otentitasnya. Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. |
Ulasan :
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Unsur “muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengacu pada ketentuan yang diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).
[1] Berikut bunyi Pasal 27 ayat (3) UU ITE:
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Esensi penghinaan atau pencemaran nama baik dalam UU ITE dan KUHP ialah tindakan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan maksud untuk diketahui oleh umum. Oleh karena itu, perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya dalam pasal ini haruslah dimaksudkan untuk menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan maksud untuk diketahui oleh umum.
Orang tersebut haruslah pribadi kodrati (naturlijk persoon) dan bukan pribadi hukum (rechts persoon). Pribadi hukum tidak mungkin memiliki perasaan terhina atau nama baiknya tercemar mengingat pribadi hukum merupakan abstraksi hukum. Meskipun pribadi hukum direpresentasikan oleh pengurus atau wakilnya yang resmi, tetapi delik penghinaan hanya dapat ditujukan pada pribadi kodrati, sama seperti pembunuhan atau penganiayaan (Sitompul, 2012).
Delik penghinaan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE bersifat subjektif. Maksudnya, perasaan telah terserangnya nama baik atau kehormatan seseorang ialah hak penuh dari korban. Korbanlah yang dapat menentukan bagian mana dari Informasi atau Dokumen Elektronik yang menyerang kehormatan atau nama baiknya. Akan tetapi, penilaian subjektif ini harus diimbangi dengan kriteria-kriteria yang lebih objektif.
Dalam mempermasalahkan konten yang diduga memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu (Sitompul, 2012);
Dalam konten yang dipermasalahkan harus ada kejelasan identitas orang yang dihina. Identitas tersebut harus mengacu kepada orang pribadi tertentu dan bukan kepada pribadi hukum, bukan pula ditujukan kepada orang secara umum, atau kepada sekelompok orang berdasarkan suku, agama, ras, atau golongan.
Identitas dapat berupa gambar (foto), user name, riwayat hidup seseorang, atau informasi lain-lain yang berhubungan dengan orang tertentu yang dimaksud.
Identitas tersebut meskipun bukan identitas asli diketahui oleh umum bahwa identitas tersebut mengacu pada orang yang dimaksud (korban) dan bukan orang lain.
Kriteria yang lebih objektif untuk menilai hubungan antara muatan dari informasi atau dokumen elektronik yang dianggap menghina atau mencemarkan nama baik seseorang dan korban dapat dibangun berdasarkan konten dan konteks dari tiap-tiap kasus. Konten yang dipermasalahkan dapat dinilai dari sisi bahasa. Sedangkan, konteks dapat dinilai dari sisi sosial maupun psikologi.
Ancaman pidana jika melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE tersebut diatur dalam Pasal 45 ayat (3) UU 19/2016, yakni:
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Print Screen Sebagai Alat Bukti
Pasal 5 UU ITE memberikan dasar penerimaan alat bukti elektronik dalam hukum acara di Indonesia. Pasal 5 ayat (1) UU ITE memberikan dasar hukum bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya ialah merupakan alat bukti hukum yang sah. Dari ketentuan ini maka alat bukti dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu:
Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik
Hasil cetak dari Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik
Lebih lanjut, Pasal 5 ayat (2) UU ITE menegaskan bahwa:
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
Ketentuan ini menegaskan bahwa alat bukti elektronik telah diterima dalam sistem hukum pembuktian di Indonesia di berbagai peradilan, seperti peradilan pidana, perdata, agama, militer, tata usaha negara, mahkamah konstitusi, termasuk arbitrase.
UU ITE tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “perluasan dari alat bukti yang sah”. Akan tetapi, Pasal 5 ayat (2) UU ITE memberikan petunjuk penting mengenai perluasan ini, yaitu bahwa perluasan tersebut harus “…sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.” Perluasan tersebut mengandung makna:
mengatur sebagai alat bukti lain, yaitu menambah jumlah alat bukti yang diatur dalam Pasal 184
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”). Yang dimaksud dengan alat bukti Elektronik ialah Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik. Hal alat bukti elektronik sebagai alat bukti lain dalam hukum acara pidana dipertegas dalam Pasal 44 UU ITE yang mengatur bahwa Informasi atau Dokumen Elektronik adalah alat bukti lain.
memperluas cakupan atau ruang lingkup alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Alat bukti dalam KUHAP yang diperluas ialah alat bukti surat. Hasil cetak dari Informasi atau Dokumen Elektronik dikategorikan sebagai surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 KUHAP.
Dengan demikian dapat kami simpulkan, print screen kata-kata atau kalimat dalam Twitter Anda dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dalam persidangan sepanjang bukti tersebut secara teknis dapat dipertanggungjawabkan otentitasnya.
Sebagai contoh penggunaan
print screen/secreenshot sebagai alat bukti dapat kita lihat dalam
Putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor: 471/Pid.Sus/2013/PN, dimana dalam kasus ini terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “
dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan mentransmisikan dan membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Dalam proses pembuktian,
print out screen capture tampilan percakapan di inbox Twitter dijadikan sebagai barang bukti yang diajukan oleh saksi. Akibat perbuatannya terdakwa dihukum dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan dan denda sebesar Rp 1 juta subsidair 1 (satu) bulan kurungan.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Putusan:
Referensi:
Sitompul, Josua. Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw: Tinjauan Aspek Hukum Pidana. Jakarta: Tatanusa, 2012
[1] Penjelasan Pasal 27 ayat (3) UU 19/2016