Pasal 1337 KUH Perdata mengatur tentang apa? Apa Bunyi Pasal 1337 KUH Perdata?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Berdasarkan Pasal 1337 KUH Perdata, asalkan bukan karena sebab yang dilarang oleh undang-undang atau bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum, maka setiap orang bebas untuk membuat suatu perjanjian. Lantas, bagaimana bunyi Pasal 1337 KUH Perdata? Apa contoh sebab yang dilarang oleh undang-undang itu?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Syarat Sah Perjanjian
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, sebaiknya kita pahami dulu 4 syarat sah perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut:
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Khusus dalam pembahasan ini, kami akan menjelaskan mengenai syarat sah perjanjian yang berkaitan dengan ‘suatu sebab yang tidak terlarang’.
Isi Pasal 1337 KUH Perdata
Pasal 1337 KUH Perdata berbunyi sebagai berikut:
Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.
Dari bunyi Pasal 1337 KUH Perdata di atas, terdapat gambaran umum bahwa pada dasarnya semua perjanjian atau perikatan dapat dibuat dan diselenggarakan oleh semua orang. Hanya perjanjian yang mengandung prestasi atau kewajiban pada salah satu pihak yang melanggar undang-undang, kesusilaan dan juga ketertiban umum sajalah yang dilarang.[1]
Sehingga menurut hemat kami, Pasal 1337 KUH Perdata adalah pembatasan asas kebebasan berkontrak (freedom of contract). Dalam pengertian lain, dapat disimpulkan bahwa asalkan bukan karena sebab (causa) yang dilarang oleh undang-undang atau bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum, maka setiap orang bebas untuk memperjanjikannya.[2]
Lantas, apa yang dilarang oleh undang-undang? Mengenai suatu hal yang terlarang, Subekti dalam bukunya berjudul Hukum Perjanjian menerangkan bahwa apabila soal membunuh dimasukkan dalam perjanjian, misalnya si penjual hanya bersedia menjual pisaunya kalau si pembeli membunuh orang. Maka, isi dari perjanjian ini menurutnya menjadi sesuatu yang terlarang (hal. 20).