Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Peraturan Desa
Sebelum membahas pertanyaan tersebut lebih jauh, kami akan menguraikan seluk-beluk peraturan desa terlebih dahulu, sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (“UU Desa”). Peraturan desa adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa (“BPD”).
[1]
Peraturan desa merupakan kerangka hukum dan kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa dan pembangunan desa. Penetapan peraturan desa merupakan penjabaran atas berbagai kewenangan yang dimiliki desa mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sebagai sebuah produk hukum, peraturan desa tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan tidak boleh merugikan kepentingan umum, yaitu:
[2]terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat;
terganggunya akses terhadap pelayanan publik;
terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum;
terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa; dan
diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antargolongan, serta gender.
Lebih lanjut, sebagai sebuah produk politik, peraturan desa diproses secara demokratis dan partisipatif, yakni proses penyusunannya mengikutsertakan partisipasi masyarakat desa. Masyarakat desa mempunyai hak untuk mengusulkan atau memberikan masukan kepada kepala desa dan badan permusyawaratan desa dalam proses penyusunan peraturan desa. Peraturan desa yang mengatur kewenangan desa berdasarkan hak asal usul dan kewenangan berskala lokal desa pelaksanaannya diawasi oleh masyarakat desa dan badan permusyawaratan desa. Hal itu dimaksudkan agar pelaksanaan peraturan desa senantiasa dapat diawasi secara berkelanjutan oleh warga masyarakat desa setempat mengingat peraturan desa ditetapkan untuk kepentingan masyarakat desa. Apabila terjadi pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan desa yang telah ditetapkan, BPD berkewajiban mengingatkan dan menindaklanjuti pelanggaran dimaksud sesuai dengan kewenangan yang dimiliki.
[3]
Rancangan peraturan desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, pungutan, tata ruang, dan organisasi pemerintah desa harus mendapatkan evaluasi dari Bupati/Walikota sebelum ditetapkan menjadi Peraturan Desa. Rancangan peraturan desa wajib dikonsultasikan kepada masyarakat desa. Masyarakat desa berhak memberikan masukan terhadap rancangan peraturan desa. Peraturan desa dan peraturan kepala desa diundangkan dalam lembaran desa dan berita desa oleh sekretaris desa.
[4]
Pencantuman Dasar Hukum di Dalam Peraturan Desa
Peraturan desa sendiri memang tidak tercantum di dalam hierarki peraturan perundang-undangan sesuai Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011. Namun Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011 kemudian menyatakan bahwa:
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Peraturan perundang-undangan perlu memuat pertimbangan yuridis di dalam penyusunannya.
[7] Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
[8]
Keberadaan landasan yuridis kembali ditekankan dalam pembahasan mengenai konsiderans. Bagian konsiderans suatu peraturan perundang-undangan memuat uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan peraturan perundang–undangan. Pokok pikiran pada konsiderans Undang–Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukannya yang penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis.
[9]
Sementara itu, dasar hukum suatu peraturan perundang-undangan diawali dengan kata Mengingat. Dasar hukum memuat:
[10]Dasar kewenangan pembentukan peraturan perundangundangan; dan
Peraturan perundang-undangan yang memerintahkan pembentukan peraturan perundang-undangan.
Peraturan perundang–undangan yang digunakan sebagai dasar hukum hanya peraturan perundang–undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi. Jika jumlah peraturan perundang–undangan yang dijadikan dasar hukum lebih dari satu, urutan pencantuman perlu memperhatikan tata urutan peraturan perundang–undangan dan jika tingkatannya sama disusun secara kronologis berdasarkan saat pengundangan atau penetapannya.
[11]
Dasar Hukum Bagi Penggunaan Undangan Elektronik di Desa
Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU ITE menyebutkan bahwa:
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetakannya rnerupakan alat bukti hukum yang sah.
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
Mahkamah Konstitusi melalui
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 memberikan catatan bahwa frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang–undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE.
Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU ITE sendiri tidak berlaku untuk:
[12]surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) di atas yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.
[13]
Selama ini bentuk tertulis identik dengan informasi dan/atau dokumen yang tertuang di atas kertas semata, padahal pada hakikatnya informasi dan/atau dokumen dapat dituangkan ke dalam media apa saja, termasuk medial elektronik. Dalam lingkup Sistem Elektronik, informasi yang asli dengan salinannya tidak relevan lagi untuk dibedakan sebab Sistem Elektronik pada dasarnya beroperasi dengan cara penggandaan yang mengakibatkan informasi yang asli tidak dapat dibedakan lagi dari salinannya.
[14]
Sementara itu, Pasal 24 UU 25/2009 menyatakan bahwa:
Dokumen, akta, dan sejenisnya yang berupa produk elektronik atau nonelektronik dalam penyelenggaraan pelayanan publik dinyatakan sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, sampai sejauh penelusuran kami, pengaturan mengenai penggunaan undangan elektronik pada dasarnya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
[1] Pasal 1 angka 7 UU Desa
[2] Bagian Tujuh Penjelasan Umum UU Desa
[3] Bagian Tujuh Penjelasan Umum UU Desa
[4] Pasal 69 ayat (4), (9), (10), dan (11) UU Desa
[5] Pasal 69 ayat (2) UU Desa
[7] Lampiran I UU 12/2011, hal. 2
[8] Lampiran I UU 12/2011, hal. 6
[9] Lampiran II UU 12/2011, hal. 11
[10] Lampiran II UU 12/2011, hal. 16
[11] Lampiran II UU 12/2011, hal. 19
[12] Pasal 5 ayat (4) UU ITE
[14] Penjelasan Pasal 6 UU ITE