KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Pengecualian Batas Usia Capres dan Cawapres, Ini Alasan MK

Share
copy-paste Share Icon
Kenegaraan

Pengecualian Batas Usia Capres dan Cawapres, Ini Alasan MK

Pengecualian Batas Usia Capres dan Cawapres, Ini Alasan MK
Nafiatul Munawaroh, S.H., M.HSi Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Pengecualian Batas Usia Capres dan Cawapres, Ini Alasan MK

PERTANYAAN

Pasca putusan MK terbaru, berapa batas usia capres dan cawapres 2024? Apa alasan MK memutus putusan tersebut?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Pengujian Pasal 169 huruf q UU Pemilu terkait batas usia capres dan cawapres diputus lima kali oleh Mahkamah Konstitusi. Tiga putusan menyatakan permohonan pemohon ditolak seluruhnya, satu putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima, dan satu putusan menyatakan mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian.

    Dalam Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 batas usia capres dan cawapres tetap minimal 40 tahun, namun terdapat pengecualian yaitu pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah. Apa argumen yang dibangun Mahkamah Konstitusi dalam putusan tersebut?

     

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    KLINIK TERKAIT

     

    Syarat Usia Capres dan Cawapres

    Untuk dapat dicalonkan menjadi calon presiden (“capres”) dan calon wakil presiden (“cawapres”), maka setiap individu harus memenuhi syarat yang diatur di dalam Pasal 169 UU Pemilu, salah satunya adalah syarat usia. 

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Batas usia capres sebelumnya tertuang dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu yaitu berusia paling rendah 40 tahun. Pasca putusan MK usia capres-cawapres, batas usia capres dan cawapres tersebut tidak berubah, hanya saja terdapat pengecualian.

    Namun, sebelum membahas pengecualian ketentuan tersebut, perlu diketahui bahwa terdapat beberapa permohonan uji materi pasal tentang usia minimal capres dan cawapres yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi (“MK”).

    Sepanjang penelusuran kami, sudah ada lima putusan MK yang berkaitan dengan batas usia capres dan cawapres ini, yaitu Putusan MK No. 29/PUU-XXI/2023, Putusan MK No. 51/PUU-XXI/2023, Putusan MK No. 55/PUU-XXI/2023, Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, dan Putusan MK No. 91/PUU-XXI/2023. Namun, 3 putusan MK yaitu putusan nomor 29, 51, dan 55 tersebut menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya terkait dengan pengujian Pasal 169 huruf q UU Pemilu tentang batas usia minimal capres/cawapres. Sementara itu,  putusan nomor 91 menyatakan permohonan tidak dapat diterima. Adapun, putusan nomor 90 mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian.

    Untuk menyederhanakan jawaban, kami akan menjelaskan putusan nomor 29 dan nomor 90 sebagai berikut.

     

    Alasan MK dalam Putusan Nomor 29/PUU-XXI/2023

    Dalam Putusan MK No. 29/PUU-XXI/2023, uji materi mengenai Pasal 169 huruf q UU Pemilu tentang batas minimal usia capres dan cawapres ditolak untuk seluruhnya (hal. 223).  

    Adapun petitum pemohon adalah Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan UUD dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai berusia sekurang-kurangnya 35 tahun (hal. 42).

    Pertimbangan hukum yang disampaikan oleh MK dalam putusan ini menurut hemat kami pada pokoknya adalah ketentuan batas minimal usia capres dan cawapres merupakan open legal policy.

    Jika ditelusuri dari original intent dalam risalah perubahan UUD 1945, mayoritas pengubah UUD 1945 atau fraksi di MPR berpendapat usia minimal presiden adalah 40 tahun. Namun, dengan alasan persoalan usia di kemudian hari dimungkinkan adanya dinamika dan tidak ada patokan yang ideal, pengubah UUD sepakat untuk menentukan persoalan usia diatur dengan undang-undang. Artinya, penentuan usia minimal presiden dan wakil presiden menjadi ranah pembentuk undang-undang (hal. 214).

    Berkaitan dengan persyaratan batas minimal usia capres dan cawapres, penting untuk memperhatikan berbagai putusan MK mengenai batas usia bagi pejabat publik seperti calon kepala daerah, pimpinan KPK, hakim konstitusi, usia pensiun hakim ad hoc yang sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang (open legal policy) (hal. 215 – 217).

    Suatu norma yang merupakan open legal policy atau kewenangan pembentuk undang-undang bisa menjadi persoalan konstitusionalitas dengan pertimbangan hukum sebagai berikut (hal. 217 – 219):

    1. jika tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembuat undang-undang dan tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta nyata-nyata tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dilakukan pengujian oleh MK;
    2. produk legal policy pembentuk undang-undang tidak dapat dibatalkan kecuali jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable;
    3. ­jika pada pokoknya tidak menimbulkan problematika kelembagaan yaitu tidak dapat dilaksanakan, menyebabkan kebuntuan hukum, dan menghambat pelaksanaan kinerja lembaga negara yang bersangkutan yang pada akhirnya menimbulkan kerugian konstitusionalitas bagi warga negara, maka tidak dilarang dan tidak bertentangan dengan UUD 1945;
    4. berkaitan dengan usia minimal dan maksimal pengisian jabatan publik tidak secara eksplisit bertentangan dengan konstitusi, namun bila secara implisit normanya menimbulkan persoalan ketidakadilan dan bersifat diskriminatif dikaitkan dengan persyaratan yang bersifat substantif, misalnya terkait dengan yang pernah atau sedang menjabat dan mempunyai rekam jejak yang baik berkaitan dengan integritas.

    Dalam konteks batas usia capres/cawapres tersebut, ketentuan dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu menurut MK telah memenuhi empat kriteria di atas (hal. 219 – 221), sebagai open legal policy.

    Dalam putusan tersebut, terdapat dissenting opinion yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Guntur Hamzah yang mengabulkan sebagian permohonan dan menyatakan bahwa Pasal 169 huruf q UU Pemilu inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah (hal. 232).

     

    Alasan MK dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023

    Amar putusan dalam Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 adalah mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian dan menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah(hal. 58).

    Artinya, tidak ada penurunan batas usia capres dan cawapres, yaitu tetap minimal berusia 40 tahun. Hanya saja, terdapat pengecualian bagi individu yang sedang/pernah dipilih dalam pemilu termasuk kepala daerah, maka batas usia minimal tersebut tidak berlaku kepadanya.

    Permohonan tersebut diajukan oleh Almas Tsaqibbiru Re A seorang mahasiswa, yang dilanggar hak konstitusionalnya untuk dipilih dan memilih capres/cawapres yang berusia di bawah 40 tahun pada pemilu 2024 (hal. 11). Pemohon adalah pengagum Gibran Rakabuming Raka, Walikota Solo, yang masih berusia 35 tahun (hal. 15).

    Alasan yang diajukan oleh pemohon yaitu diskriminasi usia atau ageisme. Selain itu, apabila seseorang sudah pernah dipilih dan menduduki jabatan eksekutif, maka ia telah teruji dan telah berpengalaman dalam memimpin daerah (hal. 11 - 12). Pemohon merasa jika sosok yang dikagumi generasi muda tidak bisa mendaftar capres, maka hal tersebut inkonstitusional (hal. 17).

    Pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan “berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota” (hal. 18).

    Pertimbangan hukum yang disampaikan MK dalam putusan ini, menurut hemat kami berkaitan dengan pemaknaan open legal policy, kesamaan karakteristik jabatan publik, dan ketidakadilan yang intolerable.

    1. Pemaknaan Open Legal Policy

    MK dalam beberapa putusan dapat saja mengesampingkan legal policy apabila melanggar prinsip moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable. Demikian juga sepanjang pilihan kebijakan tersebut tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk undang-undang, tidak merupakan penyalahgunaan wewenang, dan tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka tidak dapat dinyatakan inkonstitusional atau inkonstitusional bersyarat (hal. 33 – 34).

    Sehingga, menurut MK, keberadaan open legal policy dalam perkembangannya dapat diabaikan/dikesampingkan seraya memberi tafsir ulang terhadap norma yang merupakan open legal policy. Sebab, setiap pengujian undang-undang meski isunya sama, tetapi karakter perkaranya berbeda-beda sehingga dapat berimplikasi pada perbedaan hasil atau putusan MK (hal. 34 – 35). 

    Selain itu, MK berpandangan bahwa open legal policy berhenti ketika suatu pasal, norma, atau undang-undang yang berlaku positif dimintakan pengujian konstitusionalitasnya di hadapan MK. Setelah diujikan, maka open legal policy pembentuk undang-undang berhenti (exhausted). Selanjutnya, MK diberi kesempatan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus isu konstitusionalitas norma dalam undang-undang yang dapat berupa putusan konstitusional, inkonstitusional, ataupun konstitusional/inkonstitusional bersyarat (hal. 35).

    Konsep open legal policy pada prinsipnya tetap diakui keberadaannya namun tidak bersifat mutlak, sebab MK memutus perkara berdasarkan konstitusi, Pancasila, prinsip keadilan, dan HAM, bukan menyerahkan keberlakuan norma yang dimintakan pengujian dikembalikan kepada pembentuk undang-undang dengan alasan open legal policy (hal. 36).

    Selain itu, MK seyogianya menjalankan fungsinya untuk menyelesaikan perselisihan, memberikan kepastian hukum yang adil, dan memberi solusi konstitusional, serta menuntaskan perbedaan tafsir dengan memberikan tafsir akhir berdasarkan konstitusi (hal. 36).

    1. Alasan Kesamaan Karakteristik Jabatan Publik

    Posisi kepala daerah merupakan rumpun jabatan yang dipilih melalui pemilu dan jenis jabatan yang memberikan keleluasaan penilaian kapabilitas seseorang yang akan dipilih di tangan pemilihnya. Hal ini relevan dan berkaitan dengan jabatan yang dipilih melalui pemilu seperti presiden dan wakil presiden (hal. 26).

    Jabatan tersebut berbeda dengan jabatan penyelenggara negara yang diajukan sebagai syarat alternatif dalam putusan MK sebelumnya, misalnya dalam putusan nomor 51 dan nomor 55, yang petitumnya meminta pasal tersebut dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara.” Pada jabatan penyelenggara negara dapat diperoleh dengan cara diangkat/ditunjuk maupun dipilih melalui pemilu (hal. 26).

    Dengan demikian, terdapat isu kesamaan karakteristik jabatan-jabatan yang dipilih melalui pemilu, sehingga tidak terdapat contradictio in terminis dalam memahami jabatan-jabatan yang dipilih melalui pemilu termasuk pemilihan kepala daerah (hal. 27).

    Selain itu, untuk memenuhi ex aequo et bono dan kepastian hukum yang adil, pemaknaan yang tepat dalam norma tersebut adalah berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah (hal. 56).

    1. Ketidakadilan yang Intolerable

    Pembatasan usia minimal capres/cawapres 40 tahun menurut MK merupakan wujud perlakuan yang tidak proporsional sehingga bermuara pada ketidakadilan yang intolerable, karena merugikan/menghilangkan kesempatan pada figur generasi muda yang terbukti pernah terpilih dalam pemilu, untuk berkontestasi sebagai capres/cawapres yang juga merupakan rumpun jabatan elected officials (hal. 50 - 51).

    Pembatasan usia yang hanya diletakkan pada usia tertentu tanpa dibuka syarat alternatif yang setara, merupakan wujud ketidakadilan yang intolerable dalam kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden (hal. 51).

     

    Concurring Opinion dan Dissenting Opinion

    Concurring opinion (alasan berbeda) disampaikan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam mengabulkan sebagian petitum pemohon yaitu “berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai gubernur yang persyaratannya ditentukan oleh pembentuk undang-undang” (hal. 70). Adapun, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh berpendapat bahwa Pasal 169 huruf q UU Pemilu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi” (hal. 87).

    Adapun Hakim Konstitusi Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Arief Hidayat, dan Suhartoyo menyampaikan pendapat berbeda atau dissenting opinion. Menurut Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, persoalan mengenai batas usia, angka minimal tertentu, atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota tidak termasuk syarat konstitusional bagi capres/cawapres dan termasuk sebagai open legal policy (hal. 90 – 91). Selain itu, hak politik pemohon untuk memilih tidak terhalang/terlanggar hanya karena subjek preferensi politiknya tidak memenuhi syarat capres/cawapres (hal. 92). Atas hal tersebut, dalam dissenting opinion-nya, Wahiduddin Adams menolak permohonan pemohon (hal. 94).

    Hakim Konstitusi Saldi Isra secara garis besar mengkritisi proses pengambilan putusan oleh para hakim dalam rapat permusyawaratan hakim dan putusan MK yang seharusnya mengambil alternatif “jabatan gubernur” bukan jabatan yang dipilih melalui pemilu, apabila melihat dari komposisi pendapat hakim MK (hal. 96 – 102).

    Selain itu, Saldi Isra juga menyoroti perubahan pendirian MK yang terjadi dalam sekelebat, sebab tiga putusan lainnya yaitu nomor 29, 51, 55 tegas menyatakan ihwal usia merupakan wewenang pembentuk undang-undang. Dalam sejarahnya, MK pernah berubah pendirian, tetapi tidak pernah terjadi dalam waktu singkat yaitu dalam hitungan hari (hal. 95).

    Lebih lanjut, persoalan usia atau upaya mempersamakannya dengan jabatan lain atau proses lainnya, sesungguhnya telah terkunci karena dalam beberapa putusan MK sebelumnya menunjukkan bahwa MK konsisten berkenaan dengan usia yang telah menjadi yurisprudensi sejak generasi pertama yaitu open legal policy (hal. 103 – 104).

    Selain itu, persyaratan usia minimum pejabat negara menjadi bagian dari doktrin political question yaitu permasalahan yang seharusnya diselesaikan dengan keputusan yang diambil oleh cabang-cabang politik pemerintahan lain (presiden dan DPR) selaku pembentuk undang-undang, bukan oleh lembaga peradilan. MK seyogianya tidak memutus perkara political questions sebab akan meruntuhkan kepercayaan dan legitimasi publik terhadap MK (hal. 105-106).

    Hakim Konstitusi Arief Hidayat berpendapat bahwa seharusnya MK mengeluarkan ketetapan mengabulkan penarikan permohonan a quo dengan alasan pemohon tidak sungguh-sungguh dan profesional mengajukan permohonan serta dapat diduga mempermainkan kewibawaan dan marwah MK (hal. 118).

    Adapun, menurut Hakim Konstitusi Suhartoyo, legal standing pemohon untuk bertindak sebagai pemohon tidak relevan karena petitum ditujukan bukan untuk kepentingan dirinya sendiri, sehingga seharusnya MK tidak memberikan kedudukan hukum (legal standing) kepada pemohon dan “menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima” (hal. 120).

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar Hukum:

    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang telah ditetapkan sebagai undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2023.

     

    Putusan:

    1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29/PUU-XXI/2023;
    2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51/PUU-XXI/2023;
    3. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XXI/2023;
    4. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023;
    5. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XXI/2023.

    Tags

    mahkamah konstitusi
    capres

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara dan Biaya Mengurus Perceraian Tanpa Pengacara

    25 Apr 2024
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!