17 Kali Diuji, UU Ketenagakerjaan Layak Disempurnakan
Berita

17 Kali Diuji, UU Ketenagakerjaan Layak Disempurnakan

Sudah 17 kali UU Ketenagakerjaan diuji Mahkamah Konstitusi. DPR belum menerima naskah akademik.

ADY
Bacaan 2 Menit
Tenaga kerja. Foto: SGP
Tenaga kerja. Foto: SGP
Tiga belas tahun sudah usia UU No. 13 Tahun 2003  tentang Ketenagakerjaan. Dalam masa itu, banyak pihak yang mempersoalkan rumusan dalam Undang-Undang ini karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945.

Direktur Pencegahan dan Penyelesaian Hubungan Industrial Kementerian Ketenagakerjaan, Sahat Sinurat, mencatat UU Ketenagakerjaan sudah 17 kali diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). Dari 17 pengujian itu 9 dikabulkan, 2 masih proses, sisanya dicabut dan ditolak.

Sejauh ini Kementerian Ketenagakerjaan menerbitkan Peraturan Menteri atau Surat Edaran Menteri untuk menindaklanjuti putusan MK. Misalnya, putusan MK terkait penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain atau dikenal dengan istilah outsourcing. Kementerian Ketenagakerjaan menindaklanjutinya dengan menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 19 Tahun 2012  tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.

Melihat implementasi UU Ketenagakerjaan selama ini Sahat menilai ada perbedaan cara pandang antara buruh dan pengusaha terhadap regulasi tersebut. Namun yang jelas saat ini UU Ketenagakerjaan perlu diperbaiki. Apalagi pertimbangan hukum yang diberikan MK dalam putusan terkait pengujian UU Ketenagkaerjaan mengamanatkan pemerintah untuk menyempurnakan UU Ketenagakerjaan.

“UU Ketenagakerjaan perlu disempurnakan. Sebelum UU Ketenagakerjaan direvisi maka berbagai putusan MK terkait UU Ketenagakerjaan jadi pedoman pemangku kepentingan di bidang ketenagakerjaan,” kata Sahat dalam diskusi yang diselenggarakan sebuah stasiun radio di Jakarta, Rabu (11/5).

Menurut Sahat, revisi UU Ketenagakerjaan arahnya harus bisa menjamin pemenuhan dan terlaksananya hak serta kewajiban buruh dan pengusaha. Kemudian dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan multitafsir.

Ketua Bidang Antar Lembaga DPP Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Mustakim Ishak, menilai sebagian ketentuan UU Ketenagkaerjaan sudah baik, sebagian lagi perlu ditinjau ulang. Namun, sebaik apapun ketentuan yang diatur jika pengawasan tidak berjalan maka pemenuhan hak-hak buruh akan terancam.

Beberapa hal yang perlu dievaluasi dalam revisi UU Ketenagakerjaan menurut Mustakim menyangkut praktik outsourcing. Banyak praktik outsourcing yang menyalahi ketentuan UU Ketenagakerjaan. Padahal aturan terkait penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain atau dikenal dengan istilah outsourcing itu telah diatur jelas dalam pasal 64-66 UU Ketenagakerjaan. “Soal outsourcing akan disorot tajam oleh buruh jika UU Ketenagakerjaan jadi direvisi,” ujar Mustakim.

Persoalan bersama
Ketua DPN Apindo Bidang Ketenagakerjaan, Harijanto, mengatakan revisi UU Ketenagakerjaan merupakan persoalan bersama buruh dan pengusaha. Dalam setiap forum investasi internasional Harijanto mengklaim UU Ketenagakerjaan paling banyak ditanyakan oleh pengusaha karena dianggap terlalu kaku. Padahal, regulasi yang ada saat ini dituntut mampu menjawab perubahan zaman.

Menurut Harijanto, UU Ketenagakerjaan ke depan harus menjawab kebutuhan perluasan lapangan kerja karena saat ini jumlah pengangguran sangat banyak dan mendorong kemudahan berbisnis. Semakin banyak kesempatan kerja, buruh punya peluang lebih besar untuk bekerja di perusahaan yang terbaik. Jika itu terjadi maka perusahaan yang tidak patuh terhadap peraturan akan kesulitan mendapat tenaga kerja.

“Setelah menciptakan banyak kesempatan kerja maka penerapan sanksi dan penghargaan kepada perusahaan perlu dilakukan. Misalnya, menjatuhi sanksi bagi perusahaan yang melanggar aturan dan memberi penghargaan kepada perusahaan yang mematuhi aturan,” usul Harijanto.

Untuk merevisi UU Ketenagakerjaan tidak bisa dilakukan secara parsial. Harijanto mengusulkan dilakukan kajian komprehensif agar ditemukan win-win solution antara buruh dan pengusaha. Salah satu isu yang disorot pengusaha terkait jumlah pesangon yang dinilai terlalu besar. Mengacu UU Ketenagakerjaan, seorang buruh dengan masa kerja 10 tahun bisa mendapat pesangon lebih dari 20 kali upah. Sedangkan di Vietnam pesangon yang diterima buruh paling banter hanya 5 bulan upah.

“Soal pesangon, kita tidak perlu mengikuti Vietnam, yang penting buruh dan pengusaha mencari solusi yang tepat untuk dimasukan dalam revisi UU Ketenagakerjaan. Kita butuh terobosan agar UU Ketenagakerjaan hasil revisi nanti bisa diterima semua pihak” imbuh Harijanto.

Ketua Komisi IX DPR, Dede Yusuf Macan Effendi, mengatakan revisi UU Ketenagakerjaan tergantung pada dorongan dari para pemangku kepentingan. Tujuan revisi harus jelas apakah UU Ketenagakerjaan mau diubah sebagian atau keseluruhan. Sampai saat ini Komisi IX belum menerima naskah akademik revisi UU Ketenagakerjaan dari pemangku kepentingan.

Hal lain yang perlu diperhatikan sebelum merevisi UU Ketenagakerjaan yakni melihat sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia paling besar disumbang bukan dari ekspor dan belanja negara tapi konsumsi masyarakat. Dede menghitung konsumsi masyarakat menyumbang 60 persen pertumbuhan ekonomi di Indonesia. “Itu artinya masyarakat bisa menggerakkan ekonomi lewat konsumsi. Untuk itu masyarakat membutuhkan upah layak,” paparnya.

Perlu diingat, sebelum mengundang investasi asing berbondong-bondong masuk ke Indonesia harus dipastikan tenaga kerja lokal mampu terserap. Dede khawatir masifnya investasi asing yang masuk tidak bisa menyerap tenaga lokal tapi malah tenaga kerja asing (TKA).
Tags:

Berita Terkait