3 Catatan Masyarakat Sipil Atas Pengajuan PK Kasus Karhutla
Utama

3 Catatan Masyarakat Sipil Atas Pengajuan PK Kasus Karhutla

Upaya PK yang diajukan Presiden Jokowi dkk dinilai sebagai langkah mundur komitmen pemerintah dalam perlindungan lingkungan hidup dan perubahan iklim.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Tiga tahun berselang setelah putusan kasasi dengan nomor perkara 3555 K/PDT/2018 diterbitkan Mahkamah Agung, Presiden Joko Widodo akhirnya mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK) dalam kasus kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Kalimantan pada 2015 silam. Dalam putusan kasasi kasus ini telah menguatkan pengadilan tingkat pertama dan banding. Namun, bagi para pegiat lingkungan, presiden dinilai terus berkelit dengan mengajukan PK, sehingga komitmen pemeritah terhadap keadilan iklim dipertanyakan.

“Jelang pertemuan G20 dan COP27, pemerintah justru menunjukkan indikasi langkah mundur pada perlindungan lingkungan dan komitmen perubahan iklim,” ujar Campaigner Pantau Gambut, Wahyu A Perdana dalam keterangannya, Senin (7/11/2022).

Ia mengungkapkan Presiden Jokowi dan kawan-kawan (dkk) mengajukan PK di kasus Karhutla di Kalimantan 2015 silam. Dalam perkara perdata yang diajukan masyarakat sipil yakni Arie Rompas, Kartika Sari, Fatkhurrohman, Afandi, Herlina, Nordin, dan Mariaty menggugat Jokowi, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN), Menteri Kesehatan, Gubernur Kalimantan Tengah, dan DPRD Kalimantan Tengah.

Dalam putusan pengadilan tingkat pertama, Presiden Jokowi dkk kalah. Tak puas, Presiden dkk mengajukan banding dan putusannya ditolak. Masih tak puas, upaya hukum kasasi diajukan ke MA. Putusan tingkat kasasi menguatkan putusan banding dan pengadilan tingkat pertama pada Juli 2019. Inti dari putusan kasasi tersebut menyatakan para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Menghukum tergugat I menerbitkan berbagai peraturan pelaksana (PP) UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) terkait pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan dengan melibatkan peran serta masyarakat.

Lalu, Presiden Jokowi dkk belum lama ini mengajukan PK sebagai upaya hukum terakhir yang telah didaftarkan pada 3 Agustus 2022 Permohonan PK ini terdaftar dengan nomor perkara 980 PK/PDT/2022. Tercatat sebagai pemohon PK yakni Negara cq Presiden RI cq Mendagri cq Gubernur Kalteng; Negara cq Presiden RI cq Menteri KLHK; dan Negara cq Presiden RI. “PK tersebut dalam laman Mahkamah Agung tercatat terdaftar pada 3 Agustus 2022,” kata Wahyu.

Wahyu melanjutkan putusan kasasi gugatan Karhutla di Kalimantan tahun 2015 secara singkat berisi perintah pengadilan untuk mengeluarkan peraturan-peraturan untuk menanggulangi dan menghentikan kebakaran hutan di Kalimantan Tengah. Termasuk menunaikan kewajiban menyediakan fasilitas kesehatan dalam rangka melindungi warga negara dan komitmen terhadap restorasi dan perlindungan ekosistem lahan gambut.  

“Ketika upaya hukum luar biasa diajukan, menjadi tanda tanya komitmen keseriusan pemerintah dalam perlindungan lingkungan, komitmen perubahan iklim (termasuk upaya perlindungan ekosistem gambut, red).”

Wahtu mencatat tiga hal atas pengajuan PK Presiden dkk ini. Pertama, upaya PK menjadi contoh buruk bagi korporasi yang diputus bersalah dalam kasus Karhutla. Ironisnya, banyak diantaranya yang belum diekseksi hingga kini. Kedua, upaya PK bakal berrisiko terhadap ekosistem lahan gambut yang berdampak signifikan pada perubahan iklim.

Ketiga, upaya PK menunjukan lemahnya komitmen perlindungan ekosistem gambut yang berdampak pada karhutla dan  berdampak signifikan terhadap pemanasan global. Terlebih, pasca disahkan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan hilangnya kewenangan supervisi konsesi pada Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM).

“Diajukannya PK ini jelang COP 27, mengingatkan statement Menteri KLHK di depan Persatuan Pelajar Indonesia pada tahun 2021 di Glasgow ‘pembangunan besar-besaran di era Presiden Joko Widodo, tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau deforestasi’.

Tags:

Berita Terkait