3 Catatan Walhi Terkait Tata Kelola Lingkungan Hidup
Terbaru

3 Catatan Walhi Terkait Tata Kelola Lingkungan Hidup

Meliputi pelemahan supremasi hukum; meningkatnya kekerasan dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang memperjuangkan lingkungan hidup; dan pengabaian terhadap konstitusi.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Direktur Eksekutif Walhi, Zenzi Nurhadi dan Manager Kajian Hukum dan Kebijakan Walhi, Satrio Manggala saat  dalam konferensi pers secara daring. Foto: ADY
Direktur Eksekutif Walhi, Zenzi Nurhadi dan Manager Kajian Hukum dan Kebijakan Walhi, Satrio Manggala saat dalam konferensi pers secara daring. Foto: ADY

Perlindungan terhadap lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan mandat Pasal 28H UUD Tahun 1945. Konstitusi juga memandatkan pembangunan ekonomi nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Sayangnya, amanat Konstitusi itu belum tercermin dalam kebijakan yang diterbitkan penyelenggara negara baik eksekutif dan legislatif.

Walhi mencatat kekerasan dan pelanggaran yang dilakukan penyelenggara negara terhadap lingkungan hidup justru semakin meningkat. Manager Kajian Hukum dan Kebijakan Walhi, Satrio Manggala, menyoroti sedikitnya 3 hal terkait pengelolaan sumber daya alam dan pengelolaan lingkungan hidup dalam beberapa tahun terakhir.   

Pertama, pelemahan supremasi hukum. Pelemahan ini salah satunya dilakukan melalui pembajakan legislasi. “Dimulai dengan revisi UU KPK. Pembajakan dilanjutkan dengan tetap mengesahkan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinilai semakin meningkatkan perampasan wilayah kelola rakyat,” kata Satrio Manggala dalam konferensi pers secara daring dan luring, belum lama ini.

Kedua, peningkatan daya opresi penyelenggara negara kepada rakyat. Satrio menilai hal ini terjadi dengan disertai tindak kekerasan dan kriminalisasi. Walhi mencatat sepanjang tahun 2021 sebanyak 53 orang menjadi korban kekerasan dan kriminalisasi. Dari jumlah tersebut 10 diantaranya korban kriminalisasi pasal 162 Perubahan UU Minerba.

Satrio mengingatkan pertimbangan Putusan MK No.32/PUU-VIII/2010 memberikan tafsir terhadap Pasal 162 UU Minerba. Pertimbangan itu intinya membatasi kriminalisasi dalam ketentuan tersebut yakni dikenakan kepada pihak yang telah menjual tanah kepada perusahaan kemudian dia menghalang-halangi atau merintangi aktivitas perusahaan. Sayangnya tafsir itu tidak dimasukkan dalam revisi UU Minerba, sehingga Pasal 162 UU Minerba banyak menjerat masyarakat.

Ketiga, Walhi menganggap penyelenggara negara melakukan pembangkangan terhadap Konstitusi. Satrio menyebut hal itu dapat dilihat dari sikap pemerintah terhadap Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 tentang pengujian UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Putusan itu menyatakan UU No.11 Tahun 2020 inkonstitusional bersyarat, menangguhkan segala tindakan/kebijakan bersifat strategis dan berdampoak luas dan melarang menerbitkan peraturan turunan.

“Tapi tindakan yang diambil pemerintah malah sebaliknya, tetap melaksanakan UU No.11 Tahun 2020 dan peraturan pelaksanannya, bahkan menerbitkan peraturan turunan yang baru,” kritiknya.

Direktur Eksekutif Walhi, Zenzi Nurhadi, mencatat kebijakan yang diterbitkan 3 tahun terakhir tidak mengakomodir kepentingan rakyat. Misalnya, UU No.11 Tahun 2020, Revisi UU KPK, UU MInerba, dan terakhir terbitnya UU Ibu Kota Negara (IKN). Mengingat beragam UU diterbitkan bukan untuk kepentingan rakyat, proses pembentukannya juga minim partisipasi publik.

“Terbukti, dengan UU No.11 Tahun 2020 yang diputus MK inkonstitusional bersyarat,” tegasnya.

Menurut Zenzi, persoalan dalam tata kelola sumber daya alam memicu krisis yang berujung bencana. Dalam 4 bulan terakhir dapat dilihat beragam bencana menimpa sejumlah daerah, seperti Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Sumatera Utara, Bengkulu, dan Aceh.

Alih-alih membela kepentingan rakyat, Zenzi melihat penyelenggara negara memaksakan kewenangannya untuk memberi keuntungan kepada kelompok tertentu melalui penghancuran lingkungan hidup. Pengelolaan sumber daya alam dilakukan secara sentralistik. Hal ini mengabaikan otonomi daerah dan menjauhkan masyarakat dalam menyampaikan aspirasi.

Dia melihat penyatuan izin lingkungan dengan izin berusaha sebagaimana diatur UU No.11 Tahun 2020 sangat merugikan lingkungan hidup. Padahal sebelumnya ketika penerbit izin tidak mau membatalkan izin yang diterbitkan kerena berdampak pada lingkungan, masyarakat bisa mendorong untuk dibatalkan lewat pengadilan. Tapi regulasi saat ini mengatur izin lingkungan bukan lagi obyek tata usaha negara, sehingga sulit bagi masyarakat untuk melakukan upaya hukum.

Selaras itu, Walhi menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat untuk menggunakan hak konstitusinya dengan memperkuat simpul-simpul perjuangan rakyat. Mempertahankan setiap jengkal wilayah kelola rakyat dari segala bentuk perampasan. Mengawal supremasi hukum dan konstitusi.

Sebelumnya, Manajer Kampanye Infrastruktur dan Tata Ruang Walhi, Dwi Sawung, menyoroti proses pengesahan RUU IKN di DPR. Dia melihat RUU IKN dibahas maraton sejak pembentukan Pansus RUU IKN di DPR pada Desember 2021. Hanya dalam waktu 40 hari proses pembahasan RUU IKN di DPR, DPR dan pemerintah akhirnya mengesahkan RUU IKN menjadi UU dalam rapat paripurna pada 18 Januari 2022 

“Ini seperti mengulang kembali Undang Undang Omnibus (UU Cipta Kerja, red) yang disahkan dengan cepat, kemudian dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi,” kata Dwi Sawung dalam keterangannya, Selasa (18/1/2022) kemarin. 

Sawung melihat konsultasi publik yang digelar selama Desember 2021-Januari 2022 sangat terburu-buru dan hanya menyelesaikan kewajiban formal saja. Bahkan yang diketahui di Kalimantan Timur sendiri tidak ada konsultasi publik yang melibatkan masyarakat terdampak baik di kawasan inti maupun kawasan penyangga. Proses konsultasi tidak inklusif, padahal ibu kota ini bukan hanya kepentingan pihak-pihak tertentu, tapi juga kepentingan publik.

“Kami tidak melihat kepentingan publik dibahas dan diutamakan selama proses pembahasan pemindahan ibu kota negara baik pembuatan aturan (UU) maupun pembahasan perlu atau tidak pemindahan ibu kota,” katanya.

Tags:

Berita Terkait