3 Sebab MK Tolak Permohonan Sengketa Pilpres 2024
Melek Pemilu 2024

3 Sebab MK Tolak Permohonan Sengketa Pilpres 2024

Mulai dari hukum acara, paradigma hakim, dan permintaan pemohon terlalu tinggi (high call).

Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit
Gedung MK Jakarta. Foto: RES
Gedung MK Jakarta. Foto: RES

Kendati Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah resmi menetapkan pemenang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pemilu Pilpres) 2024 Prabowo Sbianto dan Gibran Rakabuming Raka, namun putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal sengketa perkara PHPU masih menarik diulas. Pakar hukum tata negara terus mengkaji putusan perkara No.1/PHPU.PRES-XXII/2024 dan No.2/PHPU.PRES-XXII/2024 menolak seluruh dalil permohonan pemohon Capres-Capwapres Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Moch Mahfud MD.

Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (FH UGM) Zainal Arifin Mochtar berpandangan setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan MK menolak seluruh permohonan pemohon. Pertama, hukum acara PHPU Pilpres belum memadai untuk menegakan hukum kepemiluan. Sejak MK menangani PHPU Pilpres tahun 2004, 2009, 2014, dan 2019 belum pernah ada perbaikan yang dilakukan terhadap hukum acara.

Waktu yang diberikan kepada MK untuk menangani PHPU Pilpres hanya 14 hari kerja. Zainal berpendapat jangka waktu yang disediakan itu tidak cukup bagi hakim konstitusi melakukan elaborasi yang kuat di persidangan. Alhasil saat ini pembuktian dibatasi, termasuk keterangan yang diberikan saksi dan ahli. Ujungnya, dalil pemohon tidak bisa dibuktikan.

“Itu kelemahan mendasar hukum acara MK tidak rapi,” katanya dalam diskusi bertema Bedah Putusan MK:Perselisihan Hasil Pemilu Presiden, Selasa (23/04/2024) kemarin.

Baca juga:

Secara umum proses pembuktian dalam persidangan di MK menyulitkan pemohon. Zainal memberikan contoh dalam pengujian formil UU, bagaimana cara bagi pemohon untuk menghadirkan alat bukti yang statusnya dikuasai negara. Pembuktian itu harusnya oleh pihak DPR dan pemerintah dengan cara memberikan keterangan. Pembagian beban pembuktian itu harus dilakukan karena perkara di MK berbeda dengan pidana dan perdata.

Kedua, soal paradigma hakim konstitusi. Zainal melihat sebagian majelis konstitusi berpikir keadilan substantif, tapi sebagian menggunakan pendekatan keadilan formalistis. Bukan berarti salah satu pendekatan itu baik atau buruk, tapi berkaitan dengan praktik pendekatan hakim soal judicial activism dan judicial restraint. Dalam hal ini, majelis konstitusi yang menggunakan pendekatan formalisme tidak memberi penjelasan kenapa pendekatan itu dipilih untuk memutus perkara PHPU Pilpres 2024.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait