3 Strategi Negeri Singa Harmoniskan Hukum dan Teknologi di Era Revolusi Industri 4.0.
Techlaw.Fest 2018: Where Law of Tech Meets Tech of Law

3 Strategi Negeri Singa Harmoniskan Hukum dan Teknologi di Era Revolusi Industri 4.0.

Menyelaraskan berbagai kebijakan dan regulasi pemerintah, produk legislatif, bahkan peradilan dengan revolusi teknologi harus dilihat sebagai strategi pembangunan jangka panjang di era digital.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

 

(Baca Juga: Artificial Intelligence dalam Industri Hukum, Menyongsong Masa Depan Dunia Hukum Tanpa Hakim dan Lawyer?)

 

Nampak dari penyataannya bahwa pada akhirnya hukum harus mendatangkan kemanfaatan. “Perlu memastikan bahwa regulasi nantinya tidak menghambat inovasi terus berkembang,” ujarnya.

 

Ada 3 pendekatan regulasi yang dijelaskan Balakrishnan sebagai strategi pemerintah Singapura mengelola penerapan kemajuan teknologi dalam berbagai aspek kehidupan. Pertama, pendekatan yang disebutnya sebagai establishment of regulatarly sandboxes. Berbagai ide, produk, atau layanan berbasis teknologi diberikan ruang uji coba terbatas. Pengaturannya bersifat longgar dan belum permanen. Cara ini diterapkan sejak 2015 untuk fintech dimana sudah 13 perusahaan yang bergabung. Pada bidang transportasi, Singapura mengizinkan operasi kendaraan otomatis tanpa pengemudi selama 5 tahun. Adapula regulasi perlindungan data pribadi yang masih mengizinkan berbagi data pelanggan secara terbatas kasus per kasus.

 

(Baca Juga: Era Ekonomi Digital dan Tantangan Menghadirkan Barang Bukti Digital di Pengadilan)

 

Kedua adalah pendekatan yang disebut masterly inactivity. Sebuah istilah medis untuk sikap wait & see dokter sampai perkembangan penyakit pasien jelas diketahui. Ia mencontohkan sikap otoritas perbankan dan jasa keuangan Singapura yang tidak mengatur soal criptocurrency. Namun fokus pada pengaturan aktifitas yang berkaitan dengan criptocurrency dilakukan sambil mengevaluasi risikonya, menimbang model regulasi yang tepat nantinya, dan memastikan bahwa regulasi nantinya tidak menghambat inovasi terus berkembang.

 

Adapun yang terakhir ialah terus mendorong prosedur pembuatan regulasi lebih cepat mengejar perkembangan teknologi. Pendekatan ini menjadi komplementer kedua pendekatan sebelumnya.

 

Chief Technology Officer (CTO) Hukumonline.com, Arkka Dhiratara, menilai strategi yang digunakan oleh Singapura adalah cara yang baik untuk mengatasi kekosongan regulasi namun pada saat yang sama memberikan ruang terbuka bagi perkembangan inovasi berbasis teknologi. “Hal yang paling logis memang wait & see, saat regulator tidak paham tapi mengatur jauh malah membunuh inovasi, tapi dibiarkan saja juga nggak benar, itu (strategi Singapura-red) cara yang cukup baik,” katanya.

 

Arkka menilai di Indonesia sebenarnya terlihat menggunakan pendekatan yang sama untuk sektor fintech, namun belum terlihat jelas dalam sektor lainnya. Arkka menambahkan bahwa regulator harus banyak melakukan up date atas perkembangan teknologi sebelum memutuskan membuat regulasi.

Tags:

Berita Terkait