5 Hambatan Kebebasan Sipil di Indonesia
Terbaru

5 Hambatan Kebebasan Sipil di Indonesia

Salah satunya mekanisme peradilan, dan birokrasi selama ini cenderung melanggengkan politik impunitas dalam kelembagaan negara.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
 Herlambang P Wiratraman saat memaparkan materi dalam Konferensi Nasional bertema Kebebasan Sipil 2023: 25 Tahun Merawat Kebebasan, Rabu (26/7/2023). Foto: ADY
Herlambang P Wiratraman saat memaparkan materi dalam Konferensi Nasional bertema Kebebasan Sipil 2023: 25 Tahun Merawat Kebebasan, Rabu (26/7/2023). Foto: ADY

Tak sedikit studi yang menunjukan demokrasi di Indonesia mengalami kemerosotan, begitu juga dengan kebebasan sipil. Fenomena kemunduran demokrasi di tanah air menunjukan adanya kecenderungan kekuasan semakin otoriter. Banyak kasus menyempitnya kebebasan sipil yang dialami masyarakat dalam mempertahankan lingkungan misalnya dari ancaman kerusakan alam akibat penambangan sumber daya alam.

Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (PKHKS) Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Herlambang P Wiratraman mengatakan sedikitnya ada 5 tantangan pelaksanaan kebebasan sipil di Indonesia. Pertama, impunitas. Dia menilai hukum dan bekerjanya mekanisme hukum peradilan dan birokrasi politik penegakannya selama ini cenderung melanggengkan politik impunitas dalam kelembagaan negara.

Herlambang memberikan contoh kasus pembunuhan terhadap aktivis HAM Munir Said Thalib, dan berbagai kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Berbagai kasus itu menunjukkan secara sistematik kekuasaan menebalkan kuasa negara, tanpa pernah ada komitmen politik untuk menuntaskannya.

“Negara bukan saja absen, melainkan mengencangkan rantai impunitasnya, dengan kebijakan, mengizinkan pelaku mendapat jabatan strategis, dan bahkan membiarkan retaliasi terhadap korban dan keluarga korban,” katanya dalam Konferensi Nasional bertema ‘Kebebasan Sipil 2023: 25 Tahun Merawat Kebebasan’, Rabu (26/7/2023).

Baca juga:

Kedua, demokrasi yang melemah. Herlambang menjelaskan hal ini mudah dikenali dari bagaimana ruang kebebasan sipil yang dilemahkan dan bahkan dibajak. Ekspresi politik mudah dibungkam, dikriminalisasi, dan dipersekusi dengan kuasa digital. Kriminalisasi kritik sebagaimana terjadi dalam kasus Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, adalah contoh pembungkaman atas kritik publik. Belum lagi, tekanan terhadap kebebasan akademik, menguatnya cyber troops (pasukan siber) menyerang kelompok yang menyampaikan kritik, dan kekerasan terhadap jurnalis.

Ketiga, sistem kuasa oligarki yang melekat dalam sistem ketatanegaraan. Herlambang mencatat sejumlah peraturan perundang-undangan yang dibuat minim partisipasi, dibuat serampangan, dan ditujukan untuk kepentingan politik kekuasaan yang menopang sistem oligarki. Sejumlah aturan bermasalah tetap disahkan sekalipun mendapat penolakan publik. Hal ini dikenal dengan istilah otokratisme legislasi, terhubung dengan kartelisasi dalam politik peraturan perundang-undangan.

Bagaimana dengan peradilan?. Dengan merujuk pada sejumlah kasus kebebasan ekspresi, pembela HAM, dan penyerangan terhadap aktifis anti korupsi, Herlambang menilai peradilan justru memperlihatkan kian kuat menopang kepentingan kekuasaan. Dia mengutip pandangan Ginsburg dan Moustafa (2008) yang menyebut pelemahan institusi peradilan mendekati dengan apa yang disebut sebagai ‘judicialisation of authoritarian politics’, atau yudisialisasi politik otoriter.

Tags:

Berita Terkait