5 Kebijakan MA Terkait Restorative Justice
Terbaru

5 Kebijakan MA Terkait Restorative Justice

Peraturan Mahkamah Agung soal restorative justice saat ini masih dalam proses perumusan oleh Tim Kelompok Kerja (Pokja) Penanganan Perkara Berdasarkan Restorative Justice.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Sebagaimana Kongres PBB ke-12 pada 10-17 Mei 2020 silam, Diah mencatat pendekatan keadilan restoratif tidak mengurangi hak negara untuk menuntut pelaku pidana. Prinsipnya, restorative justice adalah proses di mana korban, pelaku, dan/atau individu atau anggota masyarakat lainnya yang terdampak kejahatan berpartisipasi secara aktif dalam penyelesaian masalah yang timbul dari kejahatan tersebut dengan bantuan pihak ketiga yang adil dan tidak memihak.

“Program restorative justice harus tersedia secara umum di semua tahap proses peradilan pidana,” ujarnya.

Mantan Ketua Pengadilan Negeri Cibinong itu menekankan restorative justice penting karena pendekatan yang dilakukan melalui penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Praktik restorative justice bisa menggunakan mediasi penal, di  mana perkara pidana diselesaikan melalui perundingan atau musyawarah dengan melibatkan pelaku, korban, dan pihak terkait untuk bersama mencari penyelesaian yang adil dan menekankan pada pemulihan dengan dibantu mediator.

Diah yang juga pernah menjabat Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bandung itu mengingatkan, pendekatan restorative justice bisa dilakukan jika sejumlah syaratnya terpenuhi. Misalnya, pelaku mengakui perbuatannya dan bertanggungjawab untuk pemulihan. Korban bersedia untuk melakukan musyawarah untuk pemulihan dan perwakilan masyarakat memberikan dukungan untuk pemulihan. Terakhir, pidana yang dilakukan pelaku bukan pengulangan.

Sebelumnya, Direktur Perancangan Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkmham) Cahyani Suryandari mencatat ada beberapa aturan tentang restorative justice. Seperti UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Terbaru antara lain UU No.12 Tahun 2022tentang Tindak Pidana Kejahatan Seksual (TPKS) yang mengatur restitusi dan kompensasi bagi korban.

Kemudian UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga mengatur restorative justice walau tidak eksplisit. Yakni sebagaimana diatur dalam Pasal 54 yang mengatur pedoman pemidanaan wajib mempertimbangkan pemaafan dari korban atau keluarga korban. KUHP juga membuka peluang bagi hakim untuk memberikan pengampunan atau judicial pardon.

Kendati demikian pelaksanaan restorative justice diatur oleh masing-masing institusi penegak hukum misalnya Peraturan Kejaksaan (Perja) No.15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, Peraturan Kepolisian (Perpol) No.8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, dan SK Dirjen Badilum 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020.

Sekalipun restorative justice sudah diatur dalam berbagai peraturan, tapi perlu dilakukan penyempurnaan. Pengaturan restorative justice dalam berbagai aturan yang berbeda menurut Cahyani dikhawatirkan menimbulkan perbedaan persepsi.  “Belum ada defenisi dan penjelasan komprehensif mengenai restorative justice berpotensi menghambat pelaksanaannya oleh aparat penegak hukum,” imbuhnya.

Tags:

Berita Terkait