6 Catatan Akademisi Soal Arah Kebijakan Perpajakan Pasca Putusan MK
Terbaru

6 Catatan Akademisi Soal Arah Kebijakan Perpajakan Pasca Putusan MK

Putusan MK tentang pengujian UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja berdampak terhadap kebijakan perpajakan. Pemerintah diharapkan memberikan arah pengaturan yang jelas terkait perpajakan.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Keempat, pembebasan PPh dividen dan potensi reinvestasi. Taufiq menjelaskan dividen yang bersal dari dalam negeri yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri, sepanjang diinvestasikan di wilayah Indonesia dalam waktu tertentu dan/atau wajib pajak badan dalam negeri tidak dikenai PPh dikecualikan dari objek pajak. Pembebasan dividen ini positif karena akan menimbulkan multipliers effect yakni banyak usaha berkembang dan negara bisa memungut pajak.

Tapi pembebasan PPh ini, menurut Taufiq diprediksi bakal mengganggu income distribution dari negara. Adanya tarif PPh orang pribadi sebesar 35 persen di UU HPP dapat mendorong wajib pajak orang pribadi yang memiliki kekayaan tinggi untuk mengalihkan kekayaannya dengan penyertaan modal atau bentuk lain untuk memperoleh dividen. Selain itu, potensi reinvestasi bagi wajib pajak badan yang menerima dividen dalam negeri jumlahnya besar dan bisa dimanfaatkan. Melansir data OECG tahun 2018 tercatat struktur perpajakan di Indonesia berasal dari PPh badan sebesar 32 persen dari total penerimaan pajak, sedangkan penerimaan PPh orang pribadi hanya 10 persen.

Kelima, penerapan asas efektivitas pajak. Taufiq melihat revisi UU PPN melalui UU HPP memindahkan barang dan jasa yang ada di Pasal 4A ke Pasal 16B UU PPN mengatur mengenai PPN tidak dipungut dan PPN dibebaskan. Ketentuan itu berimbas pada pengusaha yang mau mengklaim kredit pajak, tapi belum ditetapkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP). Padahal, Pasal 9 ayat (2b) UU PPN memberikan syarat penggunaan faktur pajak untuk mengkreditkan pajak masukan. Pasal 13 ayat (1) menyatakan faktur pajak dibuat oleh PKP. “Ketentuan ini menyebabkan cost of taxation meningkat dan tidak sejalan dengan asas efektivitas perpajakan,” ujar Taufiq.

Keenam, keselarasan dengan maksud dan tujuan UU. Taufiq menekankan pemerintah untuk memperhatikan penerapan UU dan peraturan turunannya sesuai dengan maksud dan tujuan UU. Dia memberikan contoh Desember 2020 PGN kalah atas sebagian besar sengketa PPN terhadap objek gas bumi di tingkat MA melawan DJP. PGN telah mencatat penyisihan atas sengketa pajak sebesar Rp4,15 triliun.

Dalam kesempatan yang sama, Dosen Departemen Hukum Bisnis FH UGM, Karina Dwi Nugrahati Putri, menyoal tentang pendekatan ease of doing business (EODB) dalam ketentuan terkait “Kemudahan Berusaha” dalam UU No.11 Tahun 2020. Secara singkat, Karina menjelaskan EODB diperkenalkan oleh The World Bank Group untuk dapat menentukan peringkat sebuah negara sebagai tujuan investasi atau kegiatan bisnis.

Pemeringkatan itu dilakukan berdasarkan upaya sebuah negara mengatur tata cara seseorang atau entitas untuk dapat memulai bisnis, perolehan izin konstruksi, memperoleh listrik, pendaftaran properti, kredit, perlindungan investor minoritas, pembayaran pajak, perdagangan lintas batas, penegakan ketentuan dalam kontrak dan penyelesaian insolvensi.

Dari berbagai ketentuan terkait kemudahan berusaha yang diatur dalam UU No.11 Tahun 2020, antara lain revisi UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT). Ketentuan yang diubah antara lain kemudahan untuk mendirikan perusahaan terutama bagi usaha mikro dan kecil (UMK). Dia menjelaskan syarat minimal pendirian yakni 2 orang dieliminir sepanjang perseroan tersebut memenuhi persyaratan sebagai usaha mikro dan kecil. Tapi dalam mengatur pendirian perseroan UMK itu tidak diatur secara khusus aturan main yang membatasi perseroan UMK dalam melakukan kegiatan bisnisnya.

“Pengaturan hanya meliputi kriteria UMK dengan melihat aspek modal usaha dan hasil penjualan tahunan,” katanya.

Tags:

Berita Terkait