7 Tantangan Dihadapi Perempuan Ketika Berhadapan dengan Hukum
Utama

7 Tantangan Dihadapi Perempuan Ketika Berhadapan dengan Hukum

Karena regulasi dan aparat penegak hukum dinilai belum peka terhadap gender.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Atnike menjelaskan perempuan yang mengalami kekerasan seksual atau KDRT tak hanya butuh pendamping hukum yang paham gender, tapi juga perlu didampingi oleh psikolog dan dokter. Agar aparat penegak hukum peka isu gender, Atnike menyarankan prosesnya bisa dimulai dari pendidikan hukum. Jika pengetahuan tentang isu gender ini hanya diberikan pada saat pelatihan, maka isu gender tidak menjadi nilai yang dianut aparat penegak hukum.

 

Persoalan gender ini, menurut Atnike tidak melulu berkaitan dengan perempuan, tapi gender secara umum. Misalnya, dalam hukum ketenagakerjaan ada hak cuti melahirkan bagi perempuan, tapi perkembangan saat ini laki-laki juga perlu diberikan cuti yang cukup ketika istrinya melahirkan. Hal ini menunjukan perkembangan hukum harus peka terhadap gender secara umum.

 

Belum peka gender

Dosen STIH Jentera, Anugerah Rizki Akbari, berpendapat masih banyak regulasi dan aparat penegak hukum yang belum peka gender. Dalam perkara Baiq Nuril Maknun, PN Mataram memutus bebas karena Baiq Nuril dinilai tidak menyebarkan rekaman. Tapi di tingkat kasasi Nuril dipersalahkan dan majelis hakim menilai Nuril harusnya bisa menduga jika rekaman itu bakal didistribusikan oleh rekannya. Putusan kasasi ini diperkuat majelis hakim di tingkat PK.

 

Majelis Agung di tingkat PK juga menyinggung tindakan Nuril yang merekam tanpa izin. Padahal dalam hukum pidana merekam tanpa izin ini tidak ada sanksinya. Berkaca kasus Baiq Nuril, pria yang disapa Eki itu menilai aparat penegak hukum tidak memahami persoalan mendasar karena rekaman yang diberikan Nuril kepada rekannya dalam rangka melaporkan kasus ini ke DPRD Kota Mataram. Dalam rangka demi kepentingan umum, Baiq Nuril tidak layak dihukum.

 

Dalam perkara lain tahun 2010, Eki mencatat ada hakim yang berpendapat perempuan yang pernah berhubungan seksual, maka perempuan itu tidak boleh/layak dilindungi hukum karena sudah tidak perawan. Karena itu, perempuan tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai korban pemerkosaan. Ironisnya, dalam proses hukum, unsur kekerasan hanya dilihat sebatas kekerasan fisik. Seringkali aparat menilai jika tidak ada bekas kekerasan dianggap tidak ada bukti.

 

Padahal, dalam kasus kekerasan seksual, korban biasanya tidak langsung melaporkan peristiwa yang dialaminya. Ketika perempuan korban memutuskan untuk melapor, bekas kekerasan fisik sudah tidak ada dan aparat tidak mau memprosesnya. Tapi ada juga aparat penegak hukum yang peka terhadap isu gender. Misalnya, ada hakim yang menilai bujuk rayu merupakan ancaman kekerasan.

 

Berbagai masalah yang dihadapi perempuan korban ini berkaitan dengan perspektif gender, sehingga 76 persen kasus perkosaan hukumannya di bawah tuntutan. Regulasi yang berlaku saat ini juga minim memperhatikan isu gender. Pelaksanaan Perma No.3 Tahun 2017 juga belum optimal. Selain itu, dalam kasus kekerasan terhadap perempuan, opini masyarakat kebanyakan menuntut pelaku dihukum maksimal. Padahal, ini tidak menyelesaikan masalah, selain menghukum pelaku, hal terpenting mendampingi dan memberi pemulihan terhadap korban. “Dalam sistem pidana kita posisi korban sering dilupakan,” kata Eki.

Tags:

Berita Terkait