8 Catatan YLBHI Atas Kekacauan Langkah Hukum Penanganan Covid-19
Utama

8 Catatan YLBHI Atas Kekacauan Langkah Hukum Penanganan Covid-19

Meliputi keterbukaan informasi secara realtime; menjawab darurat kesehatan dengan darurat sipil; lambannya penetapan karantina wilayah; saling lempar tanggung jawab; tim penanganan Covid-19 lebih fokus di bidang ekonomi; tidak tegasnya kebijakan mudik; membiarkan kebijakan Kapolri yang represif; dan tidak ada pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat sebagaimana mandat UU.

Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit

“YLBHI menilai data realtime sangat dibutuhkan untuk pencegahan penularan dan penanganan kesehatan,” kata Isnur.

Kedua, darurat kesehatan dijawab dengan darurat sipil. Isnur mengatakan dalam rapat terbatas 30 Maret 2020 lalu, Presiden Jokowi menyatakan darurat kesehatan masyarakat perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil. Ketiga, lambannya penetapan kekarantinaan wilayah. UU No.6 Tahun 2018 menyebut ada 4 jenis karantina yakni karantina rumah, rumah sakit, wilayah dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Misalnya, pada 30 Maret 2020, Gubernur DKI Jakarta pernah mengajukan permintaan karantina wilayah. Kemudian 31 Maret 2020, terbit PP No.21 Tahun 2020 tentang PSBB yang mengatur cara dan syarat menetapkan PSBB. Lalu, 3 April 2020 terbit Permenkes No.9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19. Akhirnya PSBB Jakarta disetujui 7 April 2020 melalui Keputusan Menkes.

Keempat, lempar tanggung jawab kepada pemerintah daerah dan membuat istilah baru tanpa dasar hukum. Isnur mengatakan Pasal 10 ayat (1) UU No.6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan mengatur pemerintah pusat menetapkan dan mencabut kedaruratan kesehatan masyarakat. Faktanya melalui PP No.21 Tahun 2020, pemerintah melempar tanggung jawab kepada pemerintah daerah dengan membuat mekanisme PSBB ditetapkan melalui pengajuan oleh kepala daerah.

“Hal ini kemudian dilanjutkan dengan Instruksi Mendagri tentang PPKM Darurat yang tidak ada dasarnya dalam UU No.6 Tahun 2018 atau PP No.21 Tahun 2020 tentang PSBB,” tegasnya.

Kelima, perubahan APBN tidak fokus untuk antisipasi Covid-19 dan pembentukan tim penanganan lebih dominan menjaga stabilitas ekonomi ketimbang kesehatan. Isnur menilai Perppu No.1 Tahun 2020 ditunggangi kepentingan lain. Misalnya, Perppu ini ditujukan untuk menangani Covid-19; menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan yang disebabkan pandemi Covid-19; dan menghadapi ancaman membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, padahal ini tidak ada kaitannya dengan Covid-19.

“Anggaran yang dialokasikan untuk bidang kesehatan hanya Rp75 triliun. Sedangkan perlindungan sosial Rp110 triliun dan paling besar pemulihan ekonomi Rp150 triliun,” bebernya.

Tags:

Berita Terkait