Advokat Diminta Tingkatkan Peran dalam Penerapan Restorative Justice
Terbaru

Advokat Diminta Tingkatkan Peran dalam Penerapan Restorative Justice

Antara lain advokat harus mampu mencegah revictimize alias korban tidak berulang menjadi korban.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Dosen Kriminologi Fisip Universitas Indonesia, Ni Made Martini Puteri dalam diskusi bertema Forum Konsultasi Advokat:Penerapan Keadilan Restoratif dalam Penanganan Tindak Pidana di Indonesia, Kamis (15/6/2023). Foto: RES
Dosen Kriminologi Fisip Universitas Indonesia, Ni Made Martini Puteri dalam diskusi bertema Forum Konsultasi Advokat:Penerapan Keadilan Restoratif dalam Penanganan Tindak Pidana di Indonesia, Kamis (15/6/2023). Foto: RES

Proses penyelesaian perkara pidana tak hanya melalui sistem peradilan pidana yang ujungnya menjatuhkan sanksi penjara kepada pelaku, tapi ada alternatif lain menggunakan mekanisme keadilan restoratif atau restorative justice. Ada beberapa regulasi yang mengatur tentang restorative justice. Seperti UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Masing-masing lembaga penegak hukum seperti Kejaksaan, Polri, dan Mahkamah Agung pun memiliki aturan tentang restorative justice.

Dosen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (Fisip) Universitas Indonesia (UI) Ni Made Martini Puteri, mengatakan dari hasil studi yang dilakukan Departemen Kriminologi fakultas tempatnya mengajar, Bappenas, dan The Asia Foundation tahun 2021 tentang sikap publik terhadap penerapan restorative justice menghasilkan sejumlah temuan. Seperti lebih dari 90 persen masyarakat setuju sanksi pidana berupa pemenjaraan. Tapi pandangan tersebut bisa berkurang jika masyarakat mengetahui ada alternatif penghukuman lainnya seperti mekanisme restorative justice, sehingga korban bisa mendapat pemulihan dan ganti rugi.

Perempuan yang disapa Tinduk itu berpendapat, tingginya pandangan masyarakat yang setuju bahwa pemenjaraan sebagai sanksi pidana mencerminkan rendahnya pemahaman tentang perbandingan antara keadilan restributif dengan restorative justice. Sekaligus menjadi peluang untuk terus menerapkan restorative justice. Menurutnya peran advokat penting untuk memberi pemahaman kepada masyarakat terkait restorative justice.

“Advokat berperan dan berkontribusi besar untuk menyuarakan kepentingan korban, pelaku, dan masyarakat dalam pelaksanaan restorative justice. Mengingat pendekatan penghukuman retributif selama ini tidak efektif dan efisien,” ujarnya dalam kegiatan bertema Forum Konsultasi Advokat:Penerapan Keadilan Restoratif dalam Penanganan Tindak Pidana di Indonesia, Kamis (15/6/2023).

Baca juga:

Hasil studi yang melibatkan lebih dari seribu koresponden dari 33 provinsi itu menurut Tinduk menunjukkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi penerapan restorative justice. Misalnya pelanggaran apa yang dilakukan, siapa pelakunya, apa yang dialami korban, dan kerugian tindak pidana.

Beberapa kasus yang setuju digunakan restorative justice seperti narkotika, pencurian dan penggelapan yang jumlahnya kurang dari Rp2,5 juta, pencemaran nama baik, penodaan agama dan lainnya. Koresponden memilih keadilan retributif untuk kasus yang menghilangkan nyawa, pelecehan seksual, korupsi, kekerasan seksual dengan pelaku dewasa dan lainnya.

Tags:

Berita Terkait