Akademisi Bicara Evaluasi Pelaksanaan Pilkada Serentak 2020
Utama

Akademisi Bicara Evaluasi Pelaksanaan Pilkada Serentak 2020

Seperti banyaknya pasangan calon tunggal dalam Pilkada serentak Desember 2020 mengindikasikan demokrasi tidak sehat. Hingga dari 271 daerah yang menyelenggarakan pilkada ada sebanyak 153 gugatan sengketa pilkada yang diajukan ke MK.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Syarat calon memberatkan

Selain itu, Prof Ni’matul menyoroti banyaknya pasangan calon tunggal kepala daerah di 26 wilayah/daerah. Semua calon tunggal itu diusung oleh partai politik besar. Hal ini menunjukan pergeseran dinamika politik yang sangat drastis dan tidak mungkin terjadi tanpa adanya mufakat yang mengarah pada kepentingan elit tertentu, sehingga menjadi demokrasi tidak sehat.  

“Karena hegemoni partai politik dapat melemahkan sendi-sendi demokrasi,” kata Prof Ni’matul Huda.

Dia melanjutkan banyaknya calon tunggal itu juga dipicu regulasi yang mengatur syarat calon harus memperoleh dukungan dari partai politik dengan minimal 20 persen jumlah kursi DPRD atau 25 persen suara sah dalam pemilu anggota DPRD (dalam Pemilu Serentak, red). Menurutnya, syarat tersebut memberatkan bagi calon kepala daerah terutama yang diusung parpol kecil. Karena itu, perlu dikaji ulang syarat pengusung kandidat pasangan kepala daerah yang tidak perlu dibatasi dengan syarat dukungan parpol.  

Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Nur Widyastanti, mencatat awalnya Pilkada Serentak Nasional 2020 akan diselenggarakan 23 September 2020. Kemudian ditunda menjadi 9 Desember 2020. Dia juga menyebutkan sedikitnya ada 3 risiko pelaksanaan pilkada serentak di masa pandemi Covid-19 meliputi potensi peningkatan kasus Covid-19; berkurangnya tingkat partisipasi masyarakat; dan kenaikan biaya penyelenggaraan pilkada.

Tercatat ada beberapa negara mengalami lonjakan kasus Covid-19 setelah menyelenggarakan pemilu, seperti Amerika Serikat, Iran, dan negara-negara di Eropa. Tapi Nur mencatat kenaikan kasus itu tidak terjadi di Korea Selatan karena pemerintah dan pihak penyelenggara sudah melakukan langkah antisipasi dengan baik. Misalnya, menggunakan mekanisme jemput bola untuk menyambangi pemilih dan mengirimkan surat suara melalui pos. Otoritas Korea Selatan juga menutup perbatasan wilayah baik untuk masuk dan keluar.

Namun sayangnya aturan untuk mengatasi lonjakan kasus Covid-19 saat penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 lalu kurang memadai. Misalnya, Perppu No.2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No.1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UU tidak mengatur protokol kesehatan yang ketat dan mekanismenya.

KPU hanya menindaklanjutinya dengan menerbitkan Peraturan KPU No.13 Tahun 2020 terkait pelaksanaan pilkada serentak 2020 dalam kondisi pandemi Covid-19, yang mengatur teknis bagaimana penerapan protokol kesehatan secara ketat dalam setiap tahapan pilkada. “Peraturan KPU ini tidak mengatur sanksi tegas bagi pelanggar protokol kesehatan,” ujarnya.

Peraturan KPU No.13 tahun 2020 itu mengatur metode penegakan hukum yang digunakan diawali teguran tertulis oleh Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan atau Kelurahan/Desa. Kemudian diteruskan kepada kepolisian atau rekomendasi sanksi administratif kepada KPU. Metode ini, Nur melihat KPU tidak dapat memberi sanksi yang lebih tegas seperti mendiskualifikasi peserta pilkada yang terbukti melanggar protokol kesehatan.

Kendati mengalami banyak tantangan karena pandemi Covid-19, tapi Nur mencatat tingkat partisipasi pemilih tergolong tinggi yakni 76 persen. Pemilu yang digelar negara lain pada masa pandemi tingkat partisipasinya lebih rendah, seperti Amerika Serikat 66,9 persen dan Korea Selatan 66,2 persen. Kendati tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu di Amerika Serikat dan Korea Selatan itu lebih rendah dibandingkan Pilkada 2020 di Indonesia.

Walaupun tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada 2020 cukup tinggi, Nur mengingatkan ada persoalan yang perlu dicermati yakni adanya 153 gugatan sengketa Pilkada yang diajukan ke MK. “Jumlah gugatan ini cukup tinggi mengingat Pilkada dilakukan di 271 daerah. Berarti separuh dari hasil pilkada berujung gugatan ke MK,” katanya. 

Tags:

Berita Terkait