Akademisi FH UGM: Seharusnya Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja Tanpa Syarat
Utama

Akademisi FH UGM: Seharusnya Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja Tanpa Syarat

Demi kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan, Pemerintah sebaiknya mencabut UU No.11 Tahun 2020. Pemerintah harus mulai melakukan inovasi melakukan pembentukan hukum dan partisipasi yang bermakna.

CR-28
Bacaan 3 Menit
Narasumber dalam webinar bertema 'Perbaikan Mendasar dan Menyeluruh Aspek Formil Pembentukan UU Cipta Kerja' yang diselenggarakan FH UGM, Rabu (15/12/2021) lalu. Foto: ADY
Narasumber dalam webinar bertema 'Perbaikan Mendasar dan Menyeluruh Aspek Formil Pembentukan UU Cipta Kerja' yang diselenggarakan FH UGM, Rabu (15/12/2021) lalu. Foto: ADY

Putusan MK atas pengujian formil UU No.11 Tahun 2020 masih menuai sorotan publik karena menimbulkan berbagai tafsir. Presiden Joko Widodo telah memerintahkan jajarannya untuk segera menindaklanjuti putusan tersebut untuk memperbaiki UU Cipta Kerja.

Pembentuk UU sudah memasukkan UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang telah diperbarui dengan UU No.15 Tahun 2019 dan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2022 sebagai upaya untuk menindaklanjuti putusan MK.

Kalangan akademisi pun sudah menyampaikan berbagai masukan kepada pemerintah dan DPR dalam upaya menindaklanjuti putusan MK tersebut. Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) Departemen Hukum Tata Negara, Mahaarum Kusuma, mengatakan amar putusan MK memerintahkan UU No.11 Tahun 2020 untuk direvisi dalam jangka waktu 2 tahun. Jika jangka waktu tersebut lewat, maka UU No.11 Tahun 2020 menjadi inkonstitusional secara permanen dan yang berlaku adalah regulasi sebelumnya.

“MK seharusnya langsung membatalkan UU Cipta Kerja tanpa syarat apapun,” kata Mahaarum dalam webinar bertema “Perbaikan Mendasar dan Menyeluruh Aspek Formil Pembentukan UU Cipta Kerja” yang diselenggarakan FH UGM, Rabu (15/12/2021) lalu. (Baca Juga: Problematik Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja)

Mahaarum menyarankan cara terbaik yang perlu dilakukan pemerintah dan DPR menindaklanjuti putusan MK itu adalah memperbaiki UU No.11 Tahun 2020 secara formil dan substansial (materi muatan). Asas-asas formil dan materil pembentukan peraturan selalu berjalan seiringan. Apalagi saat ini DPR sudah mengadopsi Regulatory Impact Assesment (RIA) dalam proses pembuatan naskah akademik RUU.

“Dimana RIA memberikan syarat adanya konsultasi publik dengan stakeholders terkait yang kemudian didengar dan dihitung cost and benefit,” kata Mahaarum  

Dosen FH UGM Departemen Hukum Tata Negara, Herlambang Perdana Wiratraman, mengatakan yang dibutuhkan untuk menindaklanjuti putusan MK tak cukup tambal sulam melakukan perbaikan terhadap UU No.11 Tahun 2020. Demi kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan, UU No.11 Tahun 2020 selayaknya dicabut. “Pemerintah harus mulai melakukan inovasi dalam melakukan pembentukan hukum dan partisipasi yang bermakna,” harapnya.

Herlambang mencatat setidaknya 2 poin utama putusan MK. Pertama, perbaikan pembentukan dengan menekankan partisipasi publik sebagai upaya formal perbaikan. Kedua, menangguhkan tindakan dan kebijakan bersifat strategis dan berdampak luas. Dampak dari putusan ini segala peraturan turunan UU No.11 Tahun 2020 harus dihentikan dan dinyatakan tidak lagi valid untuk melakukan tindakan hukum.

“Pemerintah dan DPR perlu membentuk hukum secara lebih berkeadilan sosial, kembali pada pijakan konstitusi, tak hanya ‘kepentingan investasi’,” kata Herlambang dalam kesempatan yang sama.

Menurut Herlambang, posisi MK perlu ditegaskan tidak sekedar sebagai penjaga konstitusi, tapi juga penjaga keadilan konstitusi (constitutional justice) baik formal dan substansial. Pembentukan hukum bukan semata soal “structural-functional”, tapi perlindungan hak-hak dasar warga negara (HAM dalam konstitusi).

Dosen FH UGM Departemen Hukum Lingkungan I Gusti Agung Made, mengatakan UU No.11 Tahun 2020 memberi kemudahan bagi investor yang bentuknya antara lain relaksasi standar perburuhan dan lingkungan hidup. Beleid ini merupakan “proyek” kalangan elit ekonomi dan politik. “UU Cipta Kerja ini kristalisasi kepentingan kelompok pengusaha dengan menggunakan instrumen negara,” kata dia.

Gusti mengatakan putusan MK ini sejalan dengan posisi pemerintah dimana UU No.11 Tahun 2020 tujuannya untuk investasi dan pertumbuhan ekonomi. Putusan MK mengingatkan pemerintah dalam mencapai tujuan itu harus menggunakan cara procedural. Karena itu, MK meminta pemerintah melakukan perbaikan secara formil. “Putusan MK ini bukan jalan tengah (kompromi, red), tapi jalan pemerintah yang mana MK memasangkan rambu dan alat penerangan jalan agar jalan pemerintah ini aman dan nyaman,” kritiknya.

Sejak awal Gusti mengatakan sudah mengkritik naskah akademik dan RUU Cipta Kerja, antara lain karena menggunakan Ease of Doing Business (EoDB) sebagai acuan. Padahal EoDB ini konsepnya bermasalah karena hukum ditempatkan sebagai instrumen ekonomi. Performa hukum dinilai sejauh mana hukum dapat memberikan fasilitas terhadap investasi. Karena itu tidak akan ditemukan unsur keadilan.

“Bank Dunia juga sudah tidak lagi menggunakan EoDB sebagai acuan karena dinilai bermasalah.”

Menurut Gusti, pembangunan ekonomi dalam UU No.11 Tahun 2020, seperti masa setelah perang dunia kedua dimana pilar ekonomi diperkuat mengesampingkan pilar sosial dan ekologi. “Ini menyebabkan ketimpangan sosial dan peminggiran terhadap lingkungan hidup,” katanya.

Tags:

Berita Terkait