Akademisi Ini Ingatkan Kekeliruan Penerapan Keadilan Restoratif dalam Perkara Korupsi
Profil

Akademisi Ini Ingatkan Kekeliruan Penerapan Keadilan Restoratif dalam Perkara Korupsi

Pendekatan restorative justice bukan berarti membebaskan pelaku dari jerat hukum. Tapi muncul rasa malu dari pelaku atas perbuatannya, sehingga berempati terhadap korban dan rela dihukum.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Ketua Klinik Hukum Universitas Pancasila, Rocky Marbun dalam diskusi Hukumonline Academy #17 bertema 'Polemik Pengampunan Korupsi di Bawah Rp50 Juta', Jumat (11/2/2022). Foto: Ady
Ketua Klinik Hukum Universitas Pancasila, Rocky Marbun dalam diskusi Hukumonline Academy #17 bertema 'Polemik Pengampunan Korupsi di Bawah Rp50 Juta', Jumat (11/2/2022). Foto: Ady

Pernyataan Jaksa Agung, Sanitar Burhanuddin, yang meminta jajarannya tidak memproses hukum pelaku korupsi yang mengakibatkan kerugian negara di bawah Rp50 juta dan mengembalikan kerugian tersebut, terus menjadi sorotan. Jaksa Agung berpendapat tindakan itu ditujukan agar proses hukum bisa diselesaikan secara cepat, sederhana, dan biaya ringan.

Sebagian kalangan tidak sepakat dengan pernyataan yang dilontarkan Jaksa Agung itu pada saat rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi III DPR beberapa lalu itu. Misalnya dari kalangan organisasi masyarakat sipil, pegiat anti korupsi, KPK, termasuk kalangan akademisi.

Mereka menilai kebijakan ini memberi keistimewaan terhadap pelaku korupsi meskipun kerugian negaranya kecil dan bertentangan dengan Pasal 4 UU Pemberantasan Tipikor. Regulasi itu menyebutkan pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan pemidanaan pelaku tindak pidana korupsi.  

Ketua Klinik Hukum Universitas Pancasila, Rocky Marbun, melihat kebijakan yang dilontarkan Jaksa Agung itu sebenarnya sudah ada sejak 2010 melalui Surat Edaran Jaksa Agung Muda Pidana Khusus No.113 Tahun 2010. Selain asas cepat, sederhana, dan biaya ringan, kebijakan itu juga menggunakan asas keadilan restoratif (restorative justice).

Ia menilai ada pemahaman yang keliru bila penerapan restorative justice di Indonesia untuk memberikan pengampunan terhadap pelaku tindak pidana. Seharusnya, dalam perkara tindak pidana korupsi, melalui restorative justice selain rasa malu, pelaku secara sukarela mengembalikan kerugian negara dan rela untuk menerima dihukum.

(Baca Juga: Penjelasan Kejaksaan Soal Polemik Korupsi di Bawah Rp50 Juta)

Tapi, persoalannya dalam UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tidak ada mekanisme penyelesaian keadilan restoratif selain pidana penjara, denda, dan uang pengganti. “Kalau tujuan restorative justice untuk membebaskan pelaku dari hukuman, maka itu salah,” kata Marbun dalam diskusi Hukumonline Academy #17 bertema “Polemik ‘Pengampunan’ Korupsi di Bawah Rp50 Juta”, Jumat (11/2/2022).

Dia mengingatkan UU No.31 Tahun 1999 hanya mengatur pidana minimal dan maksimal, tidak memuat tentang kerugian negara minimal dan maksimal. Karena itu, jika ingin menerapkan konsep restorative justice dalam perkara korupsi dengan nilai kerugian negara yang relatif kecil misalnya di bawah Rp50 juta lebih baik dimasukkan dalam revisi UU Pemberantasan Tipikor.

Tags:

Berita Terkait