Akademisi Ini Sarankan Pemerintah Tidak Perlu Revisi UU Pembentukan Peraturan
Terbaru

Akademisi Ini Sarankan Pemerintah Tidak Perlu Revisi UU Pembentukan Peraturan

Karena Putusan MK lebih menekankan perbaikan UU Cipta Kerja dengan harus membuka ruang partisipasi publik (meaningful participation). Misalnya, UU Cipta Kerja dipecah menjadi beberapa klaster atau buku seperti KUHP atau menyatukan berbagai UU yang substansinya serupa,

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Narasumber webinar yang digelar PSHK dengan topik Implikasi Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja Terhadap Upaya Reformasi Regulasi, Jumat (3/12/2021). Foto: ADY
Narasumber webinar yang digelar PSHK dengan topik Implikasi Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja Terhadap Upaya Reformasi Regulasi, Jumat (3/12/2021). Foto: ADY

Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan sebagian gugatan permohonan uji formil UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dalam putusan No.91/PUU-XVIII/2020 hakim konstitusi menyatakan antara lain UU No.11 Tahun 2020 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam, waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan.”

Putusan itu menyatakan UU No.11 Tahun 2020 masih berlaku sampai dilakukan perbaikan sebagaimana jangka waktu yang diberikan tersebut. MK juga menangguhkan semua kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU No.11 Tahun 2020.

Presiden Joko Widodo telah merespon putusan tersebut dan memerintahkan jajarannya untuk segera membenahi UU No.11 Tahun 2020 sesuai amar putusan MK. Dia juga menegaskan beleid tersebut termasuk peraturan pelaksananya tetap berlaku guna memberi kepastian kepada pelaku usaha dan investor.

“Pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang diberikan waktu paling lama dua tahun untuk melakukan revisi atau perbaikan-perbaikan. Saya telah memerintahkan kepada para menko dan para menteri terkait untuk segera menindaklanjuti putusan MK itu secepat-cepatnya,” ujar kata Jokowi belum lama ini sebagaimana dikutip laman setkab.go.id, Senin (29/11/2021) lalu.

Anggota Badan Legislasi DPR RI, Firman Soebagyo, mengatakan pekan ini di DPR akan ada pembahasan program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2022. Dalam rangka menindaklanjuti putusan MK, rencananya revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan UU No.11 Tahun 2020 akan masuk dalam daftar kumulatif terbuka dan program legislasi nasional (prolegnas) prioritas tahun 2022.

Firman mengatakan perbaikan terhadap 2 UU itu akan dilakukan secara cermat dan hati-hati. Hal itu dilakukan untuk meminimalkan agar tidak dibatalkan lagi oleh MK. “Maka langkah yang dilakukan DPR akan segera melakukan tahapan revisi melalui prolegnas,” kata Firman Soebagyo dalam webinar yang digelar PSHK bertajuk “Implikasi Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja Terhadap Upaya Reformasi Regulasi”, Jumat (12/3/2021) kemarin. (Baca Juga: Tindak Lanjuti Putusan MK, Dua UU Ini Bakal Masuk Prolegnas Prioritas 2022)

Dalam kesempatan yang sama, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Fitriani Ahlan Sjarif, mengapresiasi putusan MK itu karena menyatakan UU No.11 Tahun 2020 bertentangan dengan konstitusi. Putusan ini bisa berkontribusi untuk membenahi sistem hukum dan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

“Poin dari putusan ini adalah teknik dan proses sangat penting dalam pembentukan peraturan. Proses pembentukan UU harus dilakukan dengan baik,” ujarnya.

Fitriani mengusulkan pemerintah dan DPR segera melakukan tindak lanjut terhadap putusan MK tersebut untuk mengatasi adanya kekosongan hukum. Pemerintah sebagai lembaga eksekutif berwenang menilai apa dan bagaimana dampak strategis dan berdampak meluas sebagaimana dimaksud dalam putusan MK itu.

Kendati mengusulkan pemerintah dan DPR untuk segera menindaklanjuti putusan MK, tapi Fitriani tidak merekomendasikan untuk merevisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Menurutnya, putusan MK memerintahkan (menekankan, red) agar dilakukan perbaikan terhadap UU No.11 Tahun 2020. Perbaikan UU No.11 Tahun 2020 harus membuka ruang partisipasi publik (meaningful participation). Dia tidak ingin revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan hanya untuk menjustifikasi adanya UU No.11 Tahun 2020.

Fitriani menyarankan perbaikan UU No.11 Tahun 2020 harus mengikuti ketentuan dalam UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Misalnya, UU No.11 Tahun 2020 dipecah menjadi beberapa klaster atau buku seperti KUHP. Metode omnibus law intinya menyatukan berbagai UU yang substansinya serupa, bukan seperti omnibus law sebagaimana digunakan seperti dalam UU No.11 Tahun 2020.

Omnibus law yang biasa dilakukan negara lain itu untuk UU yang sifatnya single subject. Nah salahnya itu teknik ini dipahami secara amburadul, hanya mau cepat memadatkan substansi beragam UU,” kritiknya.

Tags:

Berita Terkait