Alasan Dekan FH UPN Veteran Jakarta Tolak Kampanye Pemilu di Kampus
Terbaru

Alasan Dekan FH UPN Veteran Jakarta Tolak Kampanye Pemilu di Kampus

Karena berpotensi menimbulkan friksi tajam antar civitas akademika di internal kampus.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi pemilu. Ilustrator: BAS
Ilustrasi pemilu. Ilustrator: BAS

Pelaksanaan rangkaian Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendatang sudah dimulai dengan pendaftaran partai politik. Namun ada hal menarik yang menjadi kontra bagi kalangan akademisi yakni soal gagasan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mengizinkan setiap kandidat calon peserta dalam Pemilu 2024 berkampanye di lingkungan perguruan tinggi atau Universitas. Sontak sikap penolakan terhadap kebijakan KPU pun datang dari kalangan civitas perguruan tinggi.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Abdul Halim secara tegas menolak langkah KPU tersebut. Menurutnya, gagasan kampanye Pemilu 2024 di lingkungan perguruan tinggi bertentangan dengan independensi perguruan tinggi. Terlebih, kampus merupakan ekosistem yang independen dari kepentingan politik manapun.

Di lain sisi, kampanye pemilu di lingkungan perguruan tinggi berpotensi menimbulkan friksi antar akademisi. Dia berpandangan kampanye di lingkunngan perguruan tinggi malah melahirkan friksi yang berpotensi tajam di internal perguruan tinggi. Ujungnya, malah terjadi keterbelahan antar civitas akademik.

“Saya tidak setuju dengan gagasan kampanye di kampus. Karena kampanye di kampus justru berpotensi membuat friksi-friksi di civitas akademika,” ujar Abdul Halim kepada Hukumonline, Senin (8/8/2022).

Bagi Halim, mahasiswa dan warga kampus mesti mengerti dan melek politik. Namun, tidak berarti mahasiswa dan warga kampus malah tarik-menarik dengan melibatkan diri dalam pertarungan politik praktis, seperti kampanye pemilu di lingkungan kampus. Padahal kampanye di luar lingkungan kampus pun aspirasi dan hak-hak politiknya dapat tersalurkan dengan baik.

Dia menyebutkan dalam praktik pengangkatan jabatan jabatan struktural di internal kampus telah melahirkan friksi-friksi di perguruan tinggi. Apalagi bila kampanye pemilu digelar di lingkungan perguruan tinggi berpotensi tajam terjadinya perbedaan pandangan politik yang berujung keterbelahan antar civitas akademik. “Saya tidak bisa membayangkan kegaduhan bakal terjadi di tiap-tiap kampus,” cetusnya.

Lebih lanjut Halim menilai sebagian perguruan tinggi masih terdapat para akademisi yang berpikir sempit atau minim kedewasaan dalam menyikapi perbedaan-perbedaan pandangan. Alhasil, terjadi diskriminasi terhadap orang yang berbeda dengan sikap serta pandangan pemikirannya. Padahal membutuhkan waktu dalam menumbuhkan demokratisasi di lingkungan kampus.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait