Anggota DPR Minta Agar Permendikbudristek 30/2021 Dibatalkan
Terbaru

Anggota DPR Minta Agar Permendikbudristek 30/2021 Dibatalkan

Karena tidak mencantumkan landasan hukum; tidak memasukkan unsur agama; hingga mengandung unsur liberalisme, sehingga dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

“Ini tentu merupakan satu acuan peraturan yang berbahaya. Ditambah dengan tidak dimasukkannya norma agama, generasi muda kita seolah digiring pada satu konteks dengan persetujuan suatu perilaku terkait seksual bisa dibenarkan. Jelas-jelas berbahaya ini,” kritiknya.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menilai betapa banyak terjadi hubungan seks di luar nikah yang diawali dengan persetujuan alias suka sama suka. Begitu pula bermunculannya perilaku lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) secara gambang di masyarakat. Padahal dalam norma agama, perilaku seks di luar nikah ataupun LGBT tidaklah dibenarkan.

Dia menilai secara menyeluruh materi Permendikbudristek 30/2021 belum memberikan pencegahan dan perlindungan secara hukum, melainkan hanya sekedar menyampaikan sanksi administratif internal. Sebaliknya, peraturan tersebut sebatas menambah beban birokratisasi administrasi baru dengan segala ketentuan perizinan.

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR itu mengatakan Pasal 7 dan 8 yang hanya berfokus pada birokratisasi administrastif. Menurutnya, ancaman yang cukup berat belum nampak dalam keseluruhan materi Permendikbudristek 30/2021. Padahal, kata Ledia, salah satu sarana efektif dalam pencegahan ada ancaman hukuman yang jelas dan tegas secara pidana. Dengan begitu, orang bakal berpikir panjang bila hendak melakukan kejahatan.

Tak hanya itu, Permendikburistek 30/2021 seolah mengesampingkan proses hukum bila terjadi suatu kasus. Pasalnya, cenderung berfokus pada pengadilan internal dengan keberadaan satuan tugas (Satgas) di lingkungan kampus. Dia berharap Permendikbudristek No.30 Tahun 2021 dibatalkan. “Kemendikbudristek ini bisa lebih fokus pada pembinaan sistem perkuliahan yang berkarakter Pancasila,” harapnya.

Ketua Presidium Majelis Ormas Islam (MOI) Nazar Haris menilai banyak poin dalam beleid tersebut bermasalah dan menjadi polemik di tengah masyarakat dalam implementasinya ke depan. Menurutnya, Permendikbudristek 30/2021 mengadopsi draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang telah ditolak masyarakat di DPR periode 2014-2019.

Menurutnya, poin yang dikritisi dan ditolak, antara lain soal paradigma seks bebas berbasis persetujuan (sexual-consent). Paradigma itu memandang standar benar dan salah dari sebuah aktivitas seksual berdasarkan persetujuan para pihak, bukan nilai agama. Begitupula soal penggunaan definisi relasi kuasa dan gender tak mengambil dari Pancasila. Tapi, malah dari konstruksi berpikir dunia barat yang bertentangan dengan dunia ketimuran dan fitrah penciptaan manusia.

Untuk itu, MOI meminta beleid tersebut diubah atau diganti dengan aturan baru yang sejalan dengan nilai-nilai dalam sila Pancasila. Termasuk perumusan dan pembahasannya melibatkan para pemangku kepentingan. Seperti Ormas keagamaan yang menjadi pemangku kepentingan dalam pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia.

Belum lama ini, Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim telah menerbitkan Permendikbudristek pada 31 Agustus 2021 lalu lantaran dalam beberapa waktu belakangan kerap terjadi pelecehan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Dalam bagian menimbang beleid ini disebutkan dengan semakin meningkatnya kekerasan seksual yang terjadi pada ranah komunitas termasuk perguruan tinggi secara langsung atau tidak langsung akan berdampak pada kurang optimalnya penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi dan menurunkan kualitas pendidikan tinggi. Untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual di perguruan tinggi, perlu pengaturan yang menjamin kepastian hukum dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi.

Tags:

Berita Terkait