Ayat Suci Pengantar Putusan
Mengenang Bismar:

Ayat Suci Pengantar Putusan

Bismar lebih mencintai perdamaian daripada kebenaran, meskipun kebenaran bernilai tinggi. Terefleksi dalam putusan-putusannya.

YOZ/ADY/ASH
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Istilah wakil Tuhan di muka bumi seharusnya tak menjadi beban bagi seorang hakim seandainya ia memutus perkara dengan mengedepankan hati nurani. Dalam peradilan di Indonesia telah dengan tegas disebutkan dasar seorang hakim dalam mengambil keputusan adalah “Demi Keadilan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Itulah hakikat irah-irah atau kepala putusan.

Dalam sejarah peradilan di Indonesia, nama Bismar menjadi salah seorang hakim peradilan umum yang sangat sering mengutip ayat-ayat suci ke dalam pertimbangan putusan. Kadang ia mengutip al-Qur’an, kadang Injil, dan kadang menggabungkan kedua-duanya.

Tengoklah ketika Bismar mengadili Saadi bin Abdullah, seorang tokoh PKI, di PN Pontianak. Cukup banyak ayat al-Qur’an yang dikutip sang hakim dalam pertimbangan, yang memotivasi pribadi hakim memberikan keadilan, sekaligus membuat terdakwa insaf bahwa nilai Pancasila lebih tinggi disanding Marxisme-Leninisme yang diyakini terdakwa. Misalnya Annisa 135, Almaidah 8, dan al An’am 6.

“Agar terdakwa lebih menginsafi hukum-hukum yang diperlakukan yang diperlukan kepada terdakwa benar diusahagalikan dari sumber yang jauh lebih dalam dan bersifat lebih murni daripada ajaran Marxisme Leninisme”. Sebelum menjatuhkan putusan pun Bismar masih mengingat kembali hakikat Ketuhanan. “Dengan firman-firman yang telah Engkau titahkan kepada Rasul-rasulMu, telah Engkau amanatkan tugas dan sifat tersebut kepada hamba-hambaMu untuk mengadili serta berusaha memberi keadilan kepada semua ummat makhluk-Mu”. Begitulah antara lain pertimbangan Bismar dalam putusan  PN Pontianak No. 20/1967 Pidana Tolakan tertanggal 18 September 1967 tersebut.

Kutipan ayat-ayat kitab suci dalam pertimbangan bisa lebih banyak saat menyangkut perkara kesusilaan. Di PN Jakarta Utara-Timur, saat mengadili dua orang terdakwa yang memperdagangkan seorang perempuan kepada hidung belang, Bismar mengutip banyak ayat al-Qur’an tentang larangan zina. Padahal kedua terdakwa diduga bukan beragama Islam. Di pengadilan yang sama, Bismar menasehati seorang suami dengan kisah-kisah dalam Injil, karena suami melaporkan isterinya ke polisi dengan tuduhan zina.

MH Silaban, mantan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Timur, punya pengalaman menarik yag sejenis. Jaksa membawa seorang isteri yang dituduh suaminya melakukan penggelapan, yakni mengambil barang lalu menjualnya. Si suami merasa mereka sudah bercerai sehingga isteri tak boleh begitu saja mengambil dan menjual barang mereka. Bismar menjadi hakim yang mengadili perkara pasangan beragama Kristen itu.

Seingat Silaban, terdakwa dibebaskan dari tuduhan penggelapan. Si isteri dianggap masih berhak atas harta tersebut karena berstatus harta keluarga. Suaminya menerima putusan Bismar karena sang hakim menggunakan Alkitab sebagai dasar pertimbangannya. Rupanya, Bismar mengutip Matius 19: 6, “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia”.  Akhir perkara yang membahagiakan itu diceritakan kembali Silaban dalam buku peringatan 80 tahun Bismar Siregar.

Apakah mengutip ayat suci hanya terjadi jika Bismar menjadi hakim tunggal? Tidak juga. Benjamin Mangkoedilaga punya cerita menarik tentang absorpsi kaedah agama ke dalam putusan. Saat itu, Benjamin yang Muslim satu majelis dengan hakim Waluyo Sejati yang beragama Kristen Katholik. Sedangkan Bismar menjadi ketua PN Jakarta Utara saat itu.

Dari segi ilmu Benjamin dan Waluyo banyak merasa ditempa bersama karena sering ditugaskan dalam hal perumusan konsep putusan. Mereka juga banyak dan sering mendapatkan bimbingan dan koreksi yang bermanfaat dari Bismar. Sebagai pihak yang ditugasi dalam hal pembuatan konsep putusan, bahasa yang mereka pergunakan juga tentunya harus mereka sesuaikan. Apalagi, banyak putusan Bismar menggunakan bahasa islami, sesuai dengan keyakinannya yang mendalami terhadap agama.

“Sering kami menggunakan bahasa-bahasa yang Islami, seperti rangkaian kata pertimbangan ‘Menimbang, ya ayyuhalladzina amanu…hai orang-orang yang beriman (Kami berdua membuat konsep putusan itu sambil senyum-senyum!)”, kenang Benjamin seperti dikutip dari buku “Kata Hatiku Tentangmu Bismar Siregar, Refleksi 80 Tahun Perjalanan Hidup Seorang Hamba Allah”.

Mengutip kitab suci, entah agama apapun, dilakukan Bismar karena ia percaya seorang hakim harus mengejawantahkan irah-irah ‘Demi Ketuhanan Yang Maha Esa’. Bismar mengatakan dasar hakim memberi putusan bukan siapa-siapa, tetapi demi Tuhan Yang Maha Esa. Dalam konsep hukum pidana, hasrat memidana lebih ditekankan daripada hasrat memaafkan, sedangkan filsafat yang berdasar keagamaan menganut prinsip memberi maaf dalam hal tertentu lebih dipujikan daripada menuntut balasan.

Kesempatan untuk membuat pertimbangan yang mengutip ayat-ayat suci lebar pada saat Bismar masih menjadi hakim di tingkat pertama dan banding (judex facti). Apalagi saat ia tampil sebagai hakim tunggal. Ketika sudah menjadi hakim agung (judex jurist), kesempatan untuk itu kian tertutup, apalagi dalam posisi sebagai anggota majelis. Tak ada kutipan ayat-ayat suci dalam putusan MA No. 1947/Pdt/1990 (harta warisan) saat Bismar menjadi ketua majelis; demikian pula dalam putusan MA No. 607K/Pid/1985 (pengaduan secara memfitnah)  dan putusan No. 1164 K/Pid/1987 (penganiayaan berat).

Ketua Majelis Pertimbangan Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Pdt Andreas Anangguru Yewangoe, berpendapat hakim sah-sah saja mengutip ayat suci dalam putusan asal dia bisa meyakini ayat itu berguna bagi kemanusiaan, bukan bagi agama tertentu saja.

Namun ia mengingatkan Alkitab tidak hanya dijadikan hukum positif, tapi juga jiwa (semangat) si hakim. Sebaliknya, seorang kristen pun boleh saja mengutip ayat Al Quran, tapi yang penting jiwanya berguna bagi seluruh kemanusiaan. Apalagi dalam kekristenan tidak ada ayat yang dijadikan hukum positif.

Harmoni Sosial
Maruarar Siahaan, mantan hakim konstitusi menilai berpandangan, putusan-putusan Bismar menunjukkan bahwa Bismar adalah seorang yang taat dalam beragama. Menurutnya, Bismar siap menanggung semua kritikan ‘pahit’ (termasuk oleh atasannya) sekalipun ketika memberikan keadilan bagi korban atau masyarakat sebagai suatu kebutuhan dengan ‘mendobrak’ sistem.

“Ini yang sangat mengesankan dari seorang Bismar yang saya kenal,” kata dia.

Namun yang tak kalah penting bagi Bismar, kata Maruarar, adalah konsep “harmoni sosial” dalam penegakan hukum. Makanya, kata Maruarar, di akhir ceramahnya di TVRI sebagai “kado” perpisahan penugasan di Sumatera Utara, Bismar mengutip pepatah Batak yang berbunyi, “Met met bulung ni jior/Um met metan bulung ni bane-bane/Uli hata na tigor/Ummulian na mardame-dame” (Kecil sungguh daunnya johar, namun lebih kecil daunnya bane-bane. Sungguh mulia kata kebenaran, namun lebih mulia kata kedamaian).

“Dalam berbagai pengarahan, pepatah ini seringkali disampaikan kepada para hakim. Biasanya, prinsip pepatah ‘harmonisasi sosial’ ini berhubungan dengan perkara perdata yang sering mengedepankan upaya perdamaian yang harus ditempuh dalam hukum acara perdata. Ini jauh lebih penting daripada (nilai) kebenaran,” jelas Maruarar.

Bismar selalu mengepankan nilai-nilai keadilan sekaligus berimplikasi pada nilai kemanfataan hukum. Berbeda ketika mengedepankan kepastian hukum yang kadangkala berakibat tidak memiliki kemanfaatan. Makanya, kata Maruarar, setiap menangani perkara, tak jarang Bismar ‘menerobos’ formalitas yang bersifat mengekang.

Rektor Univesitas Kristen Indonesia (UKI) ini memuji sikap Bismar yang berani menerobos pakem sistem hukum yang berlaku. Sebab, dia berpandangan bagaimanapun sistem hukum dibuat untuk kepentingan masyarakat, bukan masyarakat yang selalu mengikuti sistem. Sehingga, ketika ada sistem hukum yang dilanggar demi kepentingan masyarakat justru akan bermanfaat bagi masyarakat itu sendiri.

“Lepas dari kritikan, sosok Bismar seharusnya bisa menjadi teladan hakim-hakim lain karena bisa mengkreasi ‘keadilan’ yang dituntut masyarakat,” tutur Maruarar.

Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Katholik Atmajaya, Antonius Sudirman, menilai Bismar adalah ini hakim yang visioner yang mengutamakan keadilan. Bismar sering menerapkan nilai-nilai agama dalam putusannya bukan hanya agama tertentu, tapi semua agama.“Walaupun dia Islam dan haji, tapi dalam bukunya yang saya baca, ada nilai-nilai agama Katholik disitu (dalam putusan). Al-Quran, Bibel (Injil) juga,” katanya.

Menurut Sudirman, Bismar tak ragu menerobos yang tidak ada dalam undang-undang demi keadilan. Bismar juga sering menggunakan nilai-nilai agama dengan "maaf dan damai" menjadi dasarnya. “Memaafkan korban, mendamaikan kedua belah pihak. Beliau tidak terpaku pada ketentuan formal dalam undang-undang. Padahal, hakim adalah corong undang-undang,” tandas Sudirman.

Dalam sebuah artikelnya, Agama dalam Rangka Pembinaan Kesadaran Hukum (majalah Hukum dan Keadilan edisi Januari-Februari 1980), Bismar Siregar menulis kalimat tanya yang menggugah para penegak hukum. Dapatkah dipertanggungjawabkan kemanusiaan itu berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa? Bukankah saudara-saudara bergerak di bidang penegakan hukum? Bukankah hukum yang ditegakkan itu berdasarkan keadilan? Dan bukankah keadilan itu ‘Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa?

“Kalau demikian sungguh, bahkan wajib hukumnya dari segala sesuatu yang terjelma di forum pengadilan ini, baik jaksa selaku penuntut umum atau pembela yang mendampingi tertuduh, demikian pula tidak lepas dari tangan siapa keadilan itu diamanatkan ialah para hakim, harus dan mutlak mengamalkan apa yang disebut ajaran Tuhan Yang Maha Esa itu”.

Bismar percaya jika semua penegak hukum, khususnya hakim—mendasarkan tugasnya pada Tuhan, maka keadilan akan tercipta, kedamaian akan datang. Atau, seperti kata Maruarar—‘harmoni sosial’ akan tercipta. Dan Bismar menyemai benih-benih kedamaian itu lewat putusannya.
Tags:

Berita Terkait