Bahasa Hukum: Catatan Singkat tentang Istilah ‘Perdata’
Berita

Bahasa Hukum: Catatan Singkat tentang Istilah ‘Perdata’

Dikisahkan, ada orang Belanda yang pernah menyaksikan siding pradata dipimpin Raja.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

(Baca juga: Perbedaan Pokok Hukum Pidana dan Hukum Perdata).

Tetapi jika ditelusuri ke sumber lain, ada pengertian perdata yang layak dikemukakan. Salah satu yang menyinggung semantik istilah perdata adalah karya Hilman Hadikusuma. Dalam buku Bahasa Hukum Indonesia (2005: 10-11), Hilman menuliskan bahwa istilah ‘hukum perdata’ merupakan gabungan dua kata yang asal muasalnya berbeda. Hukum berasa dari bahasa Arab, dan ‘perdata’ dari bahasa Jawa (Hindu) yakni pradata.

Alkisah, pada zaman kerajaan Mataram, khususnya era Amangkurat I (1646-1677), perkara perdata pada umumnya adalah perkara yang membahayakan mahkota, yang sifatnya mengganggu keamanan dan ketertiban negara. Perkara demikian menjadi urusan peradilan raja, yang sekarang merupakan hukum publik. Sedangkan hukum privaat ketika itu adalah perkara padu dan tidak menjadi urusan raja, melainkan urusan rakyat di daerah atau desa melalui peradilan adat.

Peradilan pradata menggunakan hukum Hindu, dan setelah era Islam menggunakan hukum Islam. Hakimnya adalah raja sendiri atau pemuka agama. Sebaliknya peradilan padu menggunakan hukum rakyat, dan hakimnya adalah pejabat negara yang disebut dengan jaksa. Sebaliknya, lema ‘pidana’ dalam bahasa Jawa (Hindu) mengandung arti hukuman, nestapa, atau sedih hati. Pemidanaan berarti penjatuhan hukuman, atau penghukuman (Hilman Hadikusuma, 2005: 114).

(Baca juga: Inilah Generasi Pertama Orang Indonesia Lulusan Sekolah Hukum).

Mr. R. Tresna daam bukunya Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad (1957: 15-16) menuliskan yang termasuk perkara pradata pada umumnya adalah perkara yang dapat membahayakan mahkota raja, yang membahayakan keamanan dan ketertiban Negara misalnya membuat kerusuhan di dalam negeri, pembunuhan, penganiayaan, perampokan, pencurian (dalam keadaan tertentu). Perkara-perkara semacam ini langsung diadili oleh raja. Sedangkan perkara padu adalah perkara yang melulu mengenai rakyat perseorangan seperti perselisihan antar warga yang tidak dapat didamaikan secara kekeluargaan oleh hakim perdamaian di masing-masing tempat. Jaksa yang bertugas menanganinya.

Tetapi Tresna mengingatkan pemisahan perkara ke dalam pradata dan padu tidak bersifat mutlak. Adakalanya suatu perkara padu berubah sifatnya karena keadaan tertentu menjadi pradata dan diadili di pengadilan raja. Misalnya, seorang pencuri yang tertangkap basah, langsung dibawa ke perkara pradata agar secepatnya diselesaikan. Salah seorang utusan Belanda yang menyaksikan peradilan pradata itu adalah Rijckloff van Goens, yang menyaksikan siding setiap kamis pada era Amangkurat I memimpin Mataram. Sidangnya berlangsung di Sitinggil. Terdakwa harus diikat kaki dan tangan dan harus tengkurap di hadapan Susuhunan, kira-kira 50 meter jaraknya dari singgahsana raja.Jaksa tampil ke sepan membacakan tuntutan. Saksi (minimal tiga orang) duduk agak jauh agar tidak mendengar apa yang dikatakan jaksa kepada Susuhunan.

Subekti, dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata (1996: 9) menuliskan perkataan ‘hukum perdata’ dalam arti yang luas meliputi semua hukum privat materiil, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan. Perkataan ‘perdata’ lazim dipakai sebagai lawan dari ‘pidana’.

Ada juga orang memakai perkataan ‘hukum sipil’ untuk hukum privat materiil. Tetapi karena perkataan sipil lazim dipakai sebagai lawan kata ‘militer’, maka lebih baik menggunakan istilah hukum perdata. Adakalanya hukum perdata dipakai dalam arti sempit sebagai lawan dari hukum dagang.

Buku Rachmadi Usman, Perkembangan Hukum Perdata dalam Dimensi Sejarah dan Politik Hukum di Indonesia (2003) menguraikan sekilas sejarah hukum perdata Indonesia yang ditarik dari sejarah pembuatan Burgerlijk Wetboek di Belanda, asal-muasalnya dari Code Civil di zaman Romawi , hingga dibawa ke Indonesia. Ada banyak karya yang layak dibaca lebih lanjut untuk melakukan penelusuran perkembangan hokum di Indonesia. Untuk periode yang lebih jauh bias dibaca karya John Ball, Indonesian Legal History: 1602-1848, dan untuk periode sesudahnya dapat dibaca karya Soetandyo Wignjosoebroto: Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional; Suatu Kajian tentang Dinamika Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum Selama Satu Setengah Abad di Indonesia (1849-1990).

Tulisan ini hanya sekadar mencoba mengajak untuk mendiskusikan salah satu istilah yang sangat lazim dipergunakan: perdata. Lantas? Apakah pradata yang dimaksudkan Prof. Hilman dan Tresna bersumber dari hukum adat, dan bermakna sama dengan ‘perdata’ yang dipakai saat ini? Atau, apakah lema perdata yang dimaknai sebagai sipil berasal dari istilah Kode Sipil yang dibawa dari Belanda ke Indonesia? Bagaimana menurut Anda?

Tags:

Berita Terkait