Bahasa Hukum: Mengembalikan ‘Mandat’
Utama

Bahasa Hukum: Mengembalikan ‘Mandat’

Di tengah pro kontra atas revisi UU No. 30 tahun 2002, pimpinan KPK menyerahkan tanggung jawab pengelolaan KPK kepada Presiden. Ada yang menyebutkan sebagai pengembalian mandat. Benarkah?

Muhammad Yasin/Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit

Bawahan dan bukan bawahan

UU menyebutkan mandat diperoleh pejabat yang lebih rendah dari pejabat yang lebih tinggi yang telah memperoleh wewenang atribusi atau delegasi. Misalnya, Menteri memberikan mandat kepada Dirjen. Bahkan Mustamin D Matutu, Abdul Latief dan Hikmawati Mustamin dalam buku mereka “Mandat, Delegasi, Atribusi dan Implementasinya di Indonesia (2004: 112), penerima mandat tidak lebih dari bawahan/pelayan yang berkewajiban melaksanakan keinginan si pemberi mandat.

Tetapi menurut Safri Nugraha dkk (2007: 36-37), pemberian mandat kepada bukan bawahan boleh dilakukan sepanjang memenuhi syarat. Syaratnya adalah: (i) mandataris mau menerima pemberian mandat; (ii) wewenang yang dimandatkan merupakan wewenang sehari-hari  dari seorang mandataris; dan (iii) ketentuan perundang-undangan bersangkutan tidak melarang pemberian mandat tersebut.

Indroharto (2004: 93) menjelaskan pemberian mandate kepada bukan bawahan sangat jarang terjadi. Dalam beberapa hal, pemberian mandate kepada bukan bawahan memerlukan ketentuan peraturan sebagai dasarnya. Jika ketentuan dimaksud tidak ada, maka suatu mandate kepada yang bukan bawahan hanya dapat berlaku sah apabila terpenuhi tiga syarat. Pertama, mandataris mau menerima pemberian mandate itu. Kedua, wewenang yang dimandatkan itu termasuk wewenang sehari-hari dari sang mandataris. Ketiga, ketentuan perundang-undangan bersangkutan tidak menentang bentuk pemberian mandate demikian.

Selain itu, penting dikemukakan bahwa penerima mandat baru dapat menjalankan tugas pemerintahan setelah ada pelekatan kewenangan secara sah. Tetapi sudah ada rambu-rambu yang ditetapkan UU AP jika mandataris mengambil keputusan. Pasal 14 ayat (6) UU AP menyebutkan dalam hal pelaksanaan wewenang berdasarkan mandat menimbulkan ketidakefektifan penyelenggaraan pemerintahan, badan atau pejabat memberikan mandat dapat menarik kembali wewenang yang telah dimandatkan.

(Baca juga: Pengertian Atribusi, Delegasi, dan Mandat).

Putusan pengadilan

Mandat pernah dijadikan Plt Kepala Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Surabaya sebagai bagian dari argumentasi permohonan peninjauan kembali (PK) ketika digugat oleh seorang warga Surabaya. Pemohon PK mendalilkan bahwa objek sengketa memang diterbitkan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Surabaya. Tetapi kewenangan itu bersifat mandat. Dalam hal pejabat memperoleh wewenang melalui mandat, maka tanggung jawab kewenangan tetap berada di tangan pemberi mandat, dalam hal ini Walikota Surabaya. Karena itu, yang digugat seharusnya adalah Walikota Surabaya. Pemohon PK juga mengutip UUAP sebagai rujukan.

Terlepas dari beberapa alasan PK lainnya, Mahkamah Agung telah mengabulkan permohonan pemohon. “Alasan-alasan tersebut dapat dibenarkan, karena judex facti telah melakukan kekeliruan yang nyata, karena SKRK (Surat Keterangan Rencana Kota) dan IMB (Izin Mendirikan Bangunan) atas nama penggugat harus dibatalkan/dicabut,” demikian bagian amar majelis PK yang dipimpin Supandi. Mahkamah Agung akhirnya menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya (putusan MA No. 211 PK/TUN/2016).

Tags:

Berita Terkait