Bawa Pasukan Bersenjata, Penggeledahan KPK Dinilai Contempt of Parliament
Berita

Bawa Pasukan Bersenjata, Penggeledahan KPK Dinilai Contempt of Parliament

Penyidik mengklaim penggeledahan yang dilakukan sudah sesuai dengan UU MD3.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah. Foto: NNP
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah. Foto: NNP
Sejumlah penyidik KPK melakukan penggeledahan di tiga ruangan anggota dewan dengan bantuan polisi bersenjata laras panjang. Adu mulut antara Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah dengan penyidik KPK tak terhindarkan ketika penyidik ingin menggeledah ruang 0342 milik anggota dewan dari Fraksi PKS. Fahri menilai tindakan penggeledahan itu contempt of parliament.

Meski terjadi adu mulut antar kedua pihak, akhirnya penggeledahan tetap dilakukan di ruang 0342 yang ditempati Wakil Ketua Komisi V Yudi Widiana Adia. Yudi merupakan anggota dewan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera. Penggeledahan terhadap ruang kerja Yudi terkait dengan pengembangan kasus dugaan korupsi dengan tersangka anggota Komisi V, Damayanti Wisnu Putranti. Penyidik juga menggeledah ruang anggota Komisi  V dari Fraksi Golkar Budi Supriyanto.

Fahri mengatakan, penggeledahan yang menggunakan bantuan kepolisian dengan menggunakan senjata laras panjang sangat berlebihan. Menurutnya, parlemen bukanlah tempat teroris. Saat masih duduk sebagai anggota Komisi III, ia telah meminta Polri melalui Kapolri (saat itu Jenderal Sutarman) agar menghormati parlemen, sekalipun penggeledahan dilakukan tanpa memboyong senjata laras panjang.

“Saya bekas anggota Komisi III, dan rapat dengan Kapolri bahwa tidak boleh ada senjata. Di mana-mana di seluruh dunia, tidak boleh masuk aparatur keamanan ke parlemen menggunakan senjata laras panjang atau pendek. Pak Tarman saat itu sudah setuju. Ini berlaku umum,” ujarnya.

Politisi PKS itu lebih lanjut berpandangan, penggeledahan dengan menggunakan senjata laras panjang mesti diprotes. Menurutnya, tindakan protes bukan berarti menghalang-halangi penyidikan, melainkan DPR saat ini sedang memperbaiki citra. Ia pun meminta agar anggota dewan diperlakukan tidak semena-mena tanpa aturan.

Ironisnya, kata Fahri, ketika ia memeriksa surat penggeledahan, ternyata sasarannya biasa. Pasalnya, dalam surat penggeledahan tertulis diperuntukan tersangka Damayanti Wisnu Putranti dan kawan-kawan. Fahri menilai penyidik mestinya memperjelas ruang nama anggota yang bakal digeledah. Pasalnya, kalimat ‘dan kawan-kawan’ menjadi bias.

Kalimat ‘dan kawan-kawan’ bisa diartikan penggeledahan dapat dilakukan terhadap 560 anggota dewan hingga pimpinan DPR. Meski begitu, ia mengakui penggeledahan terhadap ruang Yudi Widiana merupakan pengembangan dari penggeledahan di ruangan Damayanti dan Budi.

“Mudah-mudahan ini bisa diselesaikan. Eksekutif ini harusnya mengerti contempt of parliament. Karena kita menghormati cabang-cabang kekuasaan. Saya akan minta Kapolri dan KPK menjelaskan ini. Saya akan segera mengirim surat ke KPK dan Kapolri. KPK harus memperjelas surat ini,” ujarnya.

Penyidik KPK AKBP HM Cristian mengatakan, pihaknya sudah meminta izin dari Sekretariat Jenderal (Sekjen) DPR dan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Tak hanya itu, surat izin penggeledahan di tiga ruang anggota dewan sudah dikantongi dari Sekjen dan MKD. Menurutnya, penggeledahan yang dilakukan sudah sesuai dengan aturan sebagaimana yang tertuang dalam UU No.17 Tahun 2017 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3).

“Kami sudah izin ke Sekjen, kami sudah ke MKD. Saya sudah mendapatkan izin dari MKD. Saya juga melaksanakan tugas. Ini semua merekam, saya melaksanakan tugas sudah ada surat tugasnya,” bentak Cristian di depan Fahri dan Nasir Djamil di depan kerumunan wartawan.

Permintaan izin pemeriksaan terkait tindak pidana memang memerlukan izin dari MKD. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 224 ayat (5). Ayat tersebut menyatakan, “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan”.

Tak Bermaksud Menghalangi
Anggota Komisi III Nasir Djamil menyesalkan tindakan penyidik KPK. Meski demikian, ia menegaskan tidak bermaksud menghalang-halangi tugas penyidikan oleh penyidik KPK. Akan tetapi, katanya, membawa aparat Brimob dengan menggunakan senjata laras panjang tak ada dalam SOP.

“Saya tanya itu meminta aparat, ternyata tidak ada. Mereka ternyata hanya asumsi-asumsi saja. Kami tidak menghalang-halangi. Justru kami mempertanyakan supaya on the track,” ujarnya.

Ia berjanji akan mempertanyakan kepada KPK dan Kapolri saat rapat dengar pendapat dengan Komisi III. Menurutnya, tindakan penyidik KPK menggunakan bantuan Brimob dengan menggunakan senjata laras panjang perlu diluruskan agar penegak hukum tidak abuse of power.

“Jadi soal penggeledahan itu harus menghormati ruman tangga orang lain juga. Memang ini gedung teroris. Jangan bilang kami halang-halangi penggeledahan, tapi kami tanya prosedur dan SOP serta surat,” ujarnya kesal.

Seperti diketahui, KPK menetapkan anggota Komisi V dari Fraksi PDIP Damayanti Wisnu Putranti sebagai tersangka kasus penyuapan pemulusan proyek di Kementerian Pekerjaan Umum (PU). Selain Damayanti, KPK menetapkan tersangka terhadap Julia Prasetyarini (swasta), Dessy  A Edwin (swasta), dan Abdul Khoir (Dirut PT Windu Tunggal Utama) dalam kasus yang sama. Damayanti disangka telah menerima suap senilai SGD 404 ribu. Namun, KPK menutup rapat soal proyek yang diamankan Damayanti.
Tags:

Berita Terkait