Bayu Seto H, Ketua Asosiasi Pengajar HPI: RUU HPI Mengatur Boleh Tidaknya Memilih Hukum Asing
Wawancara

Bayu Seto H, Ketua Asosiasi Pengajar HPI: RUU HPI Mengatur Boleh Tidaknya Memilih Hukum Asing

Ikatan Alumni FH UI dan Kementerian Hukum dan HAM menggagas pentingnya RUU Hukum Perdata Internasional. Hubungan lintas negara berpotensi menimbulkan sengketa hukum keperdataan.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit

Menolak, karena Pasal 436 dari RV (Rechtsvordering—Red) mengatakan pengadilan Indonesia tidak mengakui putusan pengadilan asing. Baru bisa diterima kalau diajukan perkara baru. Padahal itu kan bertentangan dengan prinsip kalau putusan pengadilan asing berkekuatan hukum tetap harusnya tidak bisa diajukan lagi dengan perkara yang sama, fakta yang sama tapi karena RV itu ya tolak saja, orang asing malas untuk mengajukan. Itu karena selain prosesnya mahal biaya, putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap pengadilan asing tidak diakui di Indonesia.

 

Apa implikasinya jika RUU HPI ini tak dibahas dan masuk Prolegnas?

Kita punya sistem HPI yang sangat tertinggal karena dibuat di abad ke-18 oleh Belanda yang dulu kepentingannya sama sekali jauh dari kebutuhan perkembangan sekarang. Mana ada kebutuhan zaman dahulu atas, misalnya,  keuangan virtual (e-money) dan sebagainya. Orang tidak berpikir eksternal saat itu. Tapi sekarang orang melihat HPI Indonesia bagaimana. Orang mau berinvestasi, melihat HPI-nya agar ada jaminan jika sengketa diadili di pengadilan Indonesia. Mereka ingin tahu diselesaikan dengan cara apa. Lawyer-lawyer asing itu pasti ingin kepastian hukum. Kalau tidak ada mereka bisa bilang ke kliennya agar jangan ke Indonesia.

 

(Baca juga: RUU Ini Bakal Atur Hubungan Keluarga yang Mengandung Unsur Asing)

 

Kalau sisi akademis, seperti apa?

Dari sisi akademis, kalau sampai ini jadi Undang-Undang HPI berarti seluruh sistem pengajaran HPI berubah, karena sekarang cuma pakai Pasal 16, Pasal 17, dan 18 AB itu saja diutak-utik. Sementara teori sekarang ya masih ada di situ, ditambah sejarah perkembangan. Padahal banyak yang baru. Kalau kita sudah udah punya undang-undang HPI, itu para hakim, jaksa, dan stakeholders lain seperti lawyer dan notaris menjadi terikat undang-undang. Itu pentingnya RUU itu menjadi Undang-Undang.

 

Kalau HPI tidak jadi undang-undang, dari sisi akademis akibatnya apa?

Hukum Perdata Internasional jadi dipertanyakan. Itu pertama kali yang ditanyakan sebelum orang mau masuk ke Indonesia untuk berinvestasi. Di Korea Selatan jauh lebih maju.

 

Ada berapa negara di sekitar kita yang sudah menggunakan UU HPI?

Ada Vietnam, China, Jepang, dan Korea Selatan itu mitra dagang ASEAN. Filipina lagi membangun tapi dia tertinggal juga sama kayak kita. Seperti negara-negara seperti Brunei, Singapura, mereka kan Common Law jadi putusan-putusan pengadilan yang lebih berarti tapi asas HPI nya mengikuti perkembangan jaman karena hakimnya melihat apa ada asas baru yang up to date, harusnya Indonesia seperti ini tapi karena Indonesia tradisi hukumnya Civil Law, ya kita harus pakai pola yang dipakai di Belanda, Korea, China. Kalau Anda perhatikan UU HPI China itu ada bagian khusus yang khusus melindungi kepentingan nasional.

 

Itu berpengaruh tidak sama minat mahasiswa yang ingin mengambil Fakultas Hukum, mereka tertarik perdata tetapi tidak ada HPI? Jadi mereka kuliah di luar negeri, tapi kan nanti belum bisa diterapkan di Indonesia?

Ya iya, kalau dia nanti balik ke Indonesia, ya enggak kepake, itu yang menyebabkan sebagian praktek ke luar negeri saja.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait