Beberapa Alasan Penerapan UU ITE Perlu Dilonggarkan
Berita

Beberapa Alasan Penerapan UU ITE Perlu Dilonggarkan

Kompleksitas kejahatan siber tetap perlu pembaharuan dalam UU ITE, khususnya terkait pemidanaan agar menjadi jelas dan menjawab permasalahan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Ketiga, UU ITE berkaitan erat dengan prinsip-prinsip dasar bernegara. Sebab, informasi berkaitan erat dengan kebebasan berpendapat, menyampaikan ide gagasan, hak berkonstitusi. Prinsip-prinsip tersebut merupakan tiang-tiang hukum dalam negara demokrasi yang semuanya dijamin UUD 1945. Meski kebebasan tidaklah absolut, tapi harus berhati-hati dalam penerapan UU ITE ini. “UU ini sangat mengganggu dasar-dasar bernegara kita,” ujarnya.

Keempat, mengedepankan unsur sifat mengatur dari UU ITE (ketimbang unsur memaksa, red). Dia yakin pembentuk UU paham betul unsur-unsur represif dapat mengganggu kebebasan berpendapat dan berekspresi. Karena itulah, Prof Bagir mengajak semua pihak mengendorkan penerapan represif UU ITE ini. Kelima, keputusan Kapolri menerbitkan surat edaran yang menggeser proses pelaksanaan pidana UU ITE menjadi restorative justice. Menurutnya dalam peristiwa pidana memang dikenal upaya perdamaian (antara korban dan pelaku).  

Restorative justice memiliki dasar kuat bagi kehidupan masyarakat kita. Artinya, mempunyai dasar aspek kultural dan sosiologis yang kuat. Bukankah dalam hukum adat di mana saja, mengenal perdamaian dalam peristiwa pidana, penyelesaian hukum secara damai?

“Marilah dalam rangka relaksasi, meski secara formil UU ITE masih berlaku, berbagai relaksasi bisa dijalankan. Atau lebih ekstrim lagi, tidak usah diterapkan karena ini diatur prosedur perdata. Mengapa tidak itu dikedepankan agar tidak menimbulkan ketegangan dalam masyarakat kita. Saya berpendapat berkaitan unsur-unsur pemaksaannya dicabut, tidak ada UU Itu,” pintanya.

Tak penuhi asas

Direktur Eksekutif Elsam, Wahyudi Djafar menilai rumusan Pasal 27-29 UU ITE tak memenuhi asas lex certa dan lex stricta dalam hukum pidana. Pasalnya dalam rancangan awal UU ITE, ketentuan larangan hanya mengatur secara spesifik terhadap kejahatan komputer, pornografi/porno aksi, dan perjudian.

Sementara ketentuan larangan lain (pidana konvensional dalam KUHP, red) baru mengemuka dalam rapat kerja antara panitia khusus (Pansus) dan pemerintah pada 29 Juni 2007 silam. Alhasil, seluruh fraksi menyepakati ketentuan larangan pidana konvensional tersebut. Tapi, dalam implementasinya malah menjadi instrumen/alat untuk saling melaporkan. Problem ini yang kerap menjadi sumber masalah multitafsir dan fleksibelnya penerapan pasal-pasal tersebut.

Meski begitu, menurutnya kompleksitas kejahatan siber tetap perlu pembaharuan dalam UU ITE, khususnya terkait pemidanaan agar menjadi jelas dan menjawab permasalahan. Seperti hubungan ketentuan pidana UU ITE dengan ketentuan pidana di UU lain; pembeda rumusan dan unsur antara cyber dependent crime dengan cyber enable crime. Selanjutnya proses pembuktian yang melibatkan dua jenis kejahatan siber tersebut; respon terhadap kejahatan siber aktual. Misalnya, terkait dengan cyber terorism dan kejahatan siber yang bersifat lintas batas. “Atau cross border,” ujarnya.

Sementara Dosen Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Hukum Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono mengatakan merevisi UU 19/2016 merupakan legislative review sebagai kebijakan hukum terbuka (open legal policy) ketika UUD 1945 sebagai norma hukum tertinggi tidak mengatur atau tidak memberi batasan jelas mengenai apa dan bagaimana materi tertentu harus diatur UU.

Cara lain menyiapkan dalil dan argumentasi yang konstitusional untuk menguji kembali ke Mahkamah Konstitusi terhadap pasal-pasal dalam UU ITE yang dianggap bermasalah dan bertentangan dengan UUD 1945 (judicial review). Selain itu, penegakan hukum yang dimulai oleh kepolisian harus mengedepankan restorative justice.

Tags:

Berita Terkait