Beragam Profesi Ini Terancam Ketentuan Contempt of Court di RKUHP
Berita

Beragam Profesi Ini Terancam Ketentuan Contempt of Court di RKUHP

Mulai dari advokat, jaksa penuntut umum, wartawan yang meliput persidangan, narasumber yang diwawancara oleh wartawan, serta akademisi yang melakukan eksaminasi terhadap sebuah putusan di ruang lingkup akademik dapat dikriminalisasi dengan adanya pasal ini.

Moch Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

Sementara itu, Deputi Direktur Indonesian Legal Roundtarble (ILR), Erwin Natosmal Oemar mengungkapkan kondisi aktual permasalahan yang tengah dihadapi oleh dunia peradilan saat ini. Ada hasil riset yang menyebutkan bahwasanya sejak dicanangkannya reformasi peradilan di tanah air, kondisi sebenarnya belum banyak berubah. Dari sembilan indikator yang digunakan, sistem peradilan pidana dan perdana Indonesia berada pada posisi paling rendah. 

 

“Yang kita baca dari data ini, kita masih punya masalah akut di sistem peradilan kita,” ujar Erwin.

 

Selain itu, secara keseluruhan dari jumlah aparat penegak hukum yang selama ini ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menurut Erwin, 54 persennya adalah hakim. Artinya aktor judicial corruption di sini sebenarnya adalah lembaga peradilan itu sendiri. 

 

Untuk itu Erwin menilai, dengan adanya delik baru dalam tindak pidana terhadap proses peradilan ini akan menimbulkan kontraproduktif dengan semangat reformasi dunia peradilan sebagaimana yang terus diupayakan oleh semua pihak terhadap Mahkamah Agung. 

 

“ILR melihat dalam isu manajemen hakim dan manajemen putusan, kita masih punya problem independensi hakim terutama dalam soal putusan. Hal ini harus dipertimbangkan oleh pembuat kebijakan dalam terkait countempt of court,” ujarnya. 

 

Sementara itu, pengacara publik dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Fabionesta menyebutkan, permasalahan butir pertama dalam delik Pasal 281 RKUHP, tidak mematuhi perintah pengadilan atau penetapan hakim yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan, bukan terletak pada norma melainkan efektifitas pelaksanaan putusan itu sendiri. Menurut Fabi, selama ini sudah ada mekanisme eksekusi putusan di pengadilan. Hanya saja dalam pelaksanaannya kadang berat sebelah.

 

“Artinya kalau eksekusi dilakukan untuk pihak yang berkuasa itu efektif. Tapi kalau dilakukan untuk orang lemah menjadi tidak efektif,” ujarnya. 

 

Karena itu, atas semua situasi yang telah dipaparkan, ia menilai Pasal 281 RKUHP sangat berpotensi mengancam sejumlah pihak seperti advokat, jaksa penuntut umum, wartawan yang meliput persidangan, narasumber yang diwawancara oleh wartawan, serta mengancam akademisi yang melakukan eksaminasi terhadap sebuah putusan di ruang lingkup akademik.

Tags:

Berita Terkait