Beragam Tantangan Penegakan dan Perlindungan HAM
Berita

Beragam Tantangan Penegakan dan Perlindungan HAM

HAM belum menjadi dasar penyelenggara negara dalam mengambil kebijakan, seperti UU Cipta Kerja yang dinilai mengandung pelanggaran HAM. Polisi, perusahaan/korporasi, dan pemerintah daerah paling banyak diadukan ke Komnas HAM.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Pemenuhan hak sipil dan politik juga tak lepas dari catatan, Beka mengatakan masih terjadi pembatasan kebebasan berekspresi dan berpendapat, antara lain di Papua. Misalnya, kebebasan berekspresi di Papua kerap dibubarkan, lalu ada pembatasan internet dan kriminalisasi.

Komnas HAM juga menaruh perhatian terkait perlindungan terhadap aktivis/pembela HAM (human rights defenders). Aktivis HAM harus mendapat perlindungan yang layak dari negara karena perannya penting untuk mendorong penegakkan HAM. Komnas HAM memiliki mekanisme khusus untuk melindungi aktivis HAM, juga terus berkoordinasi dengan berbagai kementerian dan lembaga negara. Komnas HAM juga akan menjalin MoU dengan Polri terkait perlindungan aktivis HAM.

Reforma agraria sejati

Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria, Dewi Kartika, mengatakan penting untuk seluruh elemen masyarakat sipil untuk terus melakukan penolakan terhadap UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sebab, UU Cipta Kerja yang mengedepankan masuknya investasi tanpa memperhatikan hak-hak rakyat, hanya akan meningkatkan penggusuran dan sengketa agraria.

“Memperingati hari HAM, kami menuntut tanggung jawab negara melakukan reforma agraria sejati, dan menuntaskan konflik agraria. Kami juga menuntut hentikan pelibatan polisi dan TNI dalam menyelesaikan konflik agraria karena ini hanya membuat korban makin bertambah,” pintanya. (Baca Juga: Penanganan Demonstrasi UU Cipta Kerja Dinilai Sarat Pelanggaran Hukum dan HAM)

Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Nur Hidayati, menilai pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin menggunakan instrumen hukum untuk melakukan pelanggaran HAM. Hal ini antara lain tertuang dalam berbagai ketentuan yang diatur UU Cipta Kerja. Perempuan yang disapa Yaya ini menghitung sedikitnya ada 3 hal yang patut disoroti. Pertama, akses terhadap informasi yang tertutup dimana warga tidak diberi hak atas informasi terkait kebijakan dan proyek pembangunan yang berdampak terhadap hajat hidup warga.

Kedua, hak partisipasi warga secara bermakna. Yaya menerangkan UU Cipta Kerja tidak memberi ruang bagi masyarakat untuk terlibat secara bermakna dalam pembangunan yang dilakukan pemerintah. Warga yang terdampak proyek pembangunan hanya diberi ruang terbatas untuk menyampaikan aspirasinya. Sebelumnya, ruang untuk warga menyampaikan aspirasi cukup besar sekalipun tidak menjamin juga aspirasi mereka diakomodir.

“Dalam UU Cipta Kerja penyampaian aspirasi sangat dibatasi melalui digitalisasi, perizinan online, dan ditariknya proses amdal ke pusat dimana ini semakin menyulitkan masyarakat daerah menyampaikan aspirasi,” kata dia.

Ketiga, UU Cipta Kerja mencabut akses masyarakat terhadap proses peradilan. Misalnya, selama ini warga yang aspirasinya tidak diakomodir dalam izin lingkungan yang diterbitkan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan. Tapi sekarang UU Cipta Kerja menghapus izin lingkungan. “Melalui UU Cipta Kerja pemerintah bisa dianggap tidak melakukan tindakan melawan hukum karena tindakan mereka itu dianggap sudah sesuai hukum,” katanya.

Tags:

Berita Terkait