Berharap Putusan Profetik Mahkamah Konstitusi
Kolom

Berharap Putusan Profetik Mahkamah Konstitusi

Sosok hakim profetik dalam menegakkan hukum mempunyai daya pikir berorientasi nilai keadilan yang bersifat prospektif.

Bacaan 7 Menit
Berharap Putusan Profetik Mahkamah Konstitusi
Hukumonline

Menunggu dengan harap-harap cemas. Itu gambaran suasana kejiwaan masyarakat Indonesia menjelang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024. Putusan MK tersebut, sedang dibacakan pada Senin, 22 April 2024 pagi ini. Secara normatif, ada tiga kemungkinan

putusan MK yang akan dijatuhkan. Berdasarkan Pasal 77 UU Mahkamah Konstitusi jo.Peraturan MK No.4 tahun 2023 yaitu: (1) permohonan tidak dapat diterima, atau (2) permohonan dikabulkan, atau (3) permohonan ditolak. Itu semua sangat bergantung pada argumentasi dan pertimbangan majelis hakim dalam menilai bukti-bukti yang terungkap di persidangan. Tidak bisa pula diabaikan soal tingkat keyakinan hakim atas semua bukti-bukti yang diajukan di persidangan tersebut.

Baca juga:

Hemat saya tingkat keyakinan hakim dapat diperoleh melalui tiga jenjang . Pertama, 'ilmul yaqin. Hal ini didasarkan pada kapasitas dan kapabilitas keilmuan yang dimiliki oleh hakim. Tentunya Ilmu Hukum beserta ilmu-ilmu bantu lainnya. Kedua, ‘ainul yaqin. Hal ini didasarkan pada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa. Apakah bukti-bukti tersebut dapat meyakinkan hakim atau tidak. Ketiga, haqqul yakin. Hal ini merupakan kondisi di mana hakim mendapatkan keyakinan yang sangat mantap berdasarkan kapasitas keilmuannya dan juga dukungan bukti-bukti yang terungkap di persidangan. Selanjutnya, hakim membuat kesimpulan dan kemudian menjatuhkan putusan berdasarkan tiga alternatif pilihan tersebut.

Terhadap putusan MK, masyarakat menaruh harapan besar. Putusan itu akan menjadi momentum yang menentukan untuk menata ulang dan memperbaiki carut-marutnya kondisi politik, demokrasi, dan hukum di Indonesia pasca-Pilpres 2024. Diharapkan akan lahir Putusan MK yang terbilang landmark decision—putusan yang menjadi preseden—untuk perbaikan radikal kondisi bangsa dan negara yang sedang mengalami krisis multidimensi: moral, politik, hukum, kepemimpinan, keteladanan, dsb. Krisis ini membutuhkan shockwave therapy untuk mengurai permasalahan kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini.

Namun, di sisi lain, muncul pula perasaan cemas dari masyarakat. Sebagian dari mereka diliputi rasa pesimis karena putusan MK itu tidak akan berdampak apapun untuk perbaikan demokrasi dalam bernegara. Pengalaman-pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa putusan MK akan sama saja seperti yang terjadi pada putusan-putusan MK sebelumnya terkait sengketa pilpres. Tidak ada perubahan yang signifikan terhadap hasil pilpres, meski secara kasat mata banyak ditemukan kecurangan dan pelanggaran.

Tulisan ini bukan dimaksudkan untuk mendukung pihak-pihak tertentu, baik yang pro maupun kontra hasil sengketa pilpres. Tetapi lebih dimaksudkan untuk upaya pemberian kontribusi dan harapan dalam rangka mewujudkan produk mahkamah yang lebih berkualitas dan bermakna. Kualitas dan kebermaknaan tersebut tidak bisa lepas dari landasan filosofi dan nilai yang terdapat pada irah-irah setiap putusan mahkamah yaitu, “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Landasan filosofi dan nilai tersebut akan diuraikan dalam tulisan ini dengan gagasan perlunya putusan berkarakter profetik bagi hakim-hakim di MK. Lebih khusus lagi dalam memutus sengketa pilpres yang ditunggu-tunggu dan sangat diharapkan oleh masyarakat.

Tags:

Berita Terkait