Empat tahun sudah keberadaan UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menjadi payung hukum terhadap perindungan karya cipta. Namun sepanjang 2018 penegakan UU tentang Hak Cipta di tengah masyarakat tak menunjukan kemajuan berarti dalam penegakan UU Hak Cipta. Karenanya dibutuhkan terobosan serta kemauan politik dari semua pemangku kepentingan, khususnya penyelenggara pemerintahan. Antara lain membangun budaya hukum terhadap masyarakat agar adanya kepedulian terhadap hak cipta.
Anggota Komisi III Arsul Sani berpandangan penghormatan terhadap hak intelektual mesti ditelisik akar persoalannya. Menurutnya bila urai, ternyata tak saja persoalan regulasi semata termasuk penegak hukumnya. Namun semua bergantung dari budaya hukum masyarakat. Pasalnya, masyarakat masih terbilang masih kurangnya kepedulian terhadap hak cipta maupun hak intelektual.
“Karena itu menurut saya, tidak bisa hanya diselesaikan dengan penegakan hukum saja. Tapi harus ada pembangunan budaya hukum terkait dengan itu,” ujarnya kepada hukumonline, Jumat (11/1) di Komplek Gedung Parlemen.
Dalam rangka agar semua pihak mengetahui soal hak cipta, pemerintah memang mesti mensosialisasikan ke berbagai lini masyarakat. Namun kerja-kerja mensosialisasikan tak dapat menuntut ke pemerintah semata, tetapi masyarakat dan asosiasi atau perkumpulan profesi memiliki tanggungjawab yang sama. Misalnya asosiasi atau paguyuban penyanyi, musisi hingga Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI).
Bagi Arsul, mengenalkan seluk belum hak cipta perlu pula terus didorong oleh kalangan media. Terutama media televisi. Menurutnya masyarakat cenderung lebih menyukai visual ketimbang sosialisasi dalam bentuk tulisan yang mengharuskan membaca. Dia yakin dengan begitu mayarakat bakal beranjak memiliki budaya hukum dan kepedulian terhadap hak cipta ketika telah memiliki informasi yang utuh.
Mantan anggota Pantia Khusus (Pansus) RUU Hak Cipta Harry Witjaksono berpandangan penegakan terhadap hak cipta sejak UU 28/2014 diberlakukan memang terkesan setengah hati. Menurutnya pelanggaran hukum banyak dilakukan oleh mereka yang mencari penghasilan dengan cara ‘mengakali’ hak cipta.
“Jadi mental dan budaya hukum masyarakat kita belum menunjang,” ujarnya.
Harry yang juga mantan anggota DPR periode 2009-2014 itu menilai pelanggaran hak cipta seperti foto copi buku demi kebutuhan pendidikan memang masih ditolelir. Padahal bila merujuk UU Hak Cipta melarang penggandaan hak cipta tanpa izin pemegang hak cipta. Pasal 9 ayat (3) menyebutkan, “Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan”.