Menurutnya, SP3 juga bukan harga mati, tetapi perkara itu dapat kembali dibuka jika sudah memenuhi dua alat bukti yang cukup. Jika tidak ada SP3, maka tersangka yang statusnya tidak jelas dilanggar hak keperdataannya serta hak asasi manusia. “Itulah rasiologis KUHAP soal SP3,” kata dia.
Pernyataan lain yang cukup menarik disampaikan Tanak yaitu tentang sikap KPK yang selama ini selalu melaporkan kepada publik. Dalam Pasal 20 ayat (1) UU KPK menyebut "Komisi Pemberantasan Korupsi bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan,"
Nah, menurut Tanak, apa yang dilakukan KPK selama ini dengan menyampaikan kinerjanya kepada masyarakat salah kaprah. KPK justru seharusnya bertanggung jawab kepada DPR, bukan masyarakat seperti yang dilakukan selama ini. Selain itu, program-program yang disusun harus dikoordinasikan dengan DPR dan Presiden.
"Pimpinan KPK harusnya berkoordinasi dengan DPR, bukan mempertanggungjawabkan kepada masyarakat. Karena DPR ini bagian representasi dari masyarakat, bukan pimpinan KPK mengumumkan ini begini ini begini, tapi idealnya dia harus menyampaikan kepada DPR," katanya.