Catatan Kritis 5 Profesor Hukum Acara Perdata tentang e-Court
Konferensi ADHAPER 2018:

Catatan Kritis 5 Profesor Hukum Acara Perdata tentang e-Court

Sistem pelayanan elektronik di pengadilan, e-court, diapresiasi. Tapi perlu langkah antisipatif.

Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

Ketidakmerataan kualitas sarana teknologi dan tingkat literasi teknologi di seluruh wilayah Indonesia juga dikhawatirkan Benny menjadi peluang praktik mafia peradilan gaya baru. Ia juga setuju dengan Efa dan Yohannes Sogar bahwa belum tentu semua prosedur bagus menggunakan e-court. “Proses-proses tertentu harus tatap muka,” katanya.

(Baca juga: Aplikasi e-Court Demi Peradilan Cepat dan Biaya Ringan).

Lain lagi dengan pandangan Profesor Herowati Poesoko. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jember berusia 70 tahun ini menekankan pada dokumen dan alat bukti surat yang digunakan dalam e-court harus bisa dijamin keasliannya. Salah satu fasilitas yag digunakan dalam e-court memang memungkinkan pengelolaan, penyampaian dan penyimpanan dokumen perkara perdata menggunakan sistem elektronik. Dalam hal ini ia melihat kelak akan ada peluang alat bukti elektronik menjadi bagian dari beracara menggunakan e-court.

Senada dengan Herowati, Profesor. Yaswirman dari Fakultas Hukum Universitas Andalas menilai e-court sebagai langkah maju harus segera diikuti dengan pengaturan alat bukti elektronik. “Hanya saja soal alat bukti elektronik perlu juga diatur dalam hukum acara perdata,” katanya.

Peraturan Mahkamah Agung No.3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik sebanyak 26 pasal berlaku sejak diundangkan 4 April 2018 lalu. Perma ini masih membutuhkan peraturan atau pedoman yang lebih teknis. Misalnya, pedoman teknis dari Sekretaris Mahkamah Agung atau Dirjen Badan Peradilan di bawah Mahkamah Agung.

Tags:

Berita Terkait