Cerminan KUHP Baru Kita
Kolom

Cerminan KUHP Baru Kita

Refleksi KUHP baru dapat dilihat dari dua dimensi, yakni dimensi material dan dimensi formal.

Bacaan 4 Menit

Di dalam KUHP yang baru, ada sekitar 1200 tipe kejahatan yang diatur (ICJR, 2016). Di antara tipe-tipe kejahatan itu, KUHP juga mengatur adanya kejahatan-kejahatan baru seperti misalnya delik pers, penghinaan terhadap pengadilan, tindak pidana pencemaran orang mati dan kohabitasi. Sederhananya, kekuasaan negara untuk melakukan tindakan represif melalui KUHP terhadap warga negaranya bertambah karena adanya pasal-pasal kejahatan baru.

Secara langsung, hal ini adalah refleksi dari ideologi demokrasi bangsa yang menjadi “nyawa” dari KUHP. Kalau kita telusuri literatur mengenai demokrasi Indonesia, maka akan dengan mudah kita lihat hubungan antara demokrasi Indonesia dengan kultur Indonesia dan konsep negara integralistik atau “negara kekeluargaan” yang mengedepankan adanya harmoni antara penguasa dengan penduduknya (Anderson 1969; Bourchier 2015). Dengan logika ini, tidak heran bab pertama dalam KUHP baru adalah mengenai perlindungan terhadap penguasa dan ada beberapa pasal-pasal tambahan baru yang melindungi kekuasaan pemerintah agar “harmoni” antara the ruler dan the ruled tercipta. Mudahnya, di dalam konsep ini, warga negara sebagai “anak” tidak boleh “kurang ajar” terhadap “orang tuanya”.

Dalam dimensi kedua, adalah soal penegakan hukum dari KUHP nantinya. Ketika negara memiliki “banyak amunisi” untuk melakukan tindakan represif yang sah melalui hukum pidana, maka hal ini harus diimbangi oleh hukum acara pidana yang demokratis. Dalam hal ini, hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur bagaimana aparatur penegak hukum melakukan operasionalisasi terhadap KUHP. Tanpa hukum acara pidana yang memberikan hak yang cukup bagi individu untuk melawan setiap keputusan represif negara seperti menangkap, menahan dan menyita properti, misi demokratisasi dan dekolonialisasi hukum pidana dalam KUHP hanya akan menjadi indah di dalam teks – sama seperti banyaknya peraturan hukum di negeri ini.

Kombinasi “maut” antara KUHP baru dan desain KUHAP kita sekarang, besar kemungkinan akan lahir tendensi otoritarianisme terhadap hak individu. Hal ini disebabkan karena, KUHAP kita dianggap sebagai relik dari zaman otoritarian yang dilahirkan oleh orde baru pada tahun 1981 (Lamchek, 2019). Di dalam manisnya bunyi pembukaan Undang-Undang tersebut, KUHAP hampir tidak memberikan instrumen yang berarti dalam melawan kekuasaan negara di dalam pelaksanaan hukum pidana. Untuk mendapatkan keadilan, sering kali, terdakwa atau advokatnya harus “menghamba” terhadap kekuasaan aparatur penegak hukum. Di tengah kultur birokrasi penegakan hukum yang cenderung korup, demokratisasi KUHAP adalah sebuah kewajiban bagi bangsa ini.

Artinya, di tengah-tengah masa transisi KUHP yang mungkin sekitar 3-5 tahun, Indonesia haruslah memiliki KUHAP baru apabila memang serius dalam melakukan misi “dekolonialisasi dan demokratisasi” hukum pidana. Hal ini bukanlah hal yang mudah, karena KUHAP mengatur pembagian kekuasaan penegakan hukum yang memiliki nilai tinggi. Ketika negara melakukan demokratisasi KUHAP, maka akan ada persoalan tambah-kurang wewenang dari aparatur penegak hukum. Ketika ada masalah tambah-kurang kekuasaan, akan lahir resistensi yang kuat, karena kekuasaan penegak hukum sering dianggap sebagai “aset.” Inilah penyebab utama kenapa KUHAP kita, yang sudah coba direvisi sejak reformasi, sulit untuk diubah.

Sebaiknya, Pemerintah dan DPR setidak-tidaknya memberikan komitmen kepada publik bahwa dalam masa transisi, KUHAP yang lebih demokratis akan dibentuk. Tanpa komitmen ini, sangat mungkin RKUHP yang baru disetujui jadi UU, ke depan hanya akan menimbulkan refleksi yang kurang baik untuk bangsa ini.

*)Aristo Pangaribuan, Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait