Covid-19 Bencana Nasional, Force Majeur atau Rebus Sic Stantibus Dapat Dipakai Batalkan Kontrak?
Utama

Covid-19 Bencana Nasional, Force Majeur atau Rebus Sic Stantibus Dapat Dipakai Batalkan Kontrak?

Baik force majeur maupun asas rebus sic stantibus menghilangkan ikatan pacta sunt servanda bagi kedua pihak dalam kontrak. Namun kuncinya bukan pada penetapan status bencana nasional oleh Pemerintah.

Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

Ia melihat penetapan darurat bencana kali ini adalah prosedur lanjutan sesuai UU Penanggulangan Bencana. Tujuannya mengaktifkan ruang gerak yang lebih luas bagi Badan Nasional Penanggulangan Bencana menjalankan tugasnya. Misalnya terkait pengadaan barang dan jasa serta pengerahan personel.

Fikri menolak status resmi bencana nasional sebagai dasar sapu jagad untuk wanprestasi dengan klaim force majeur. Inti dari force majeur harus dilihat pada kondisi nyata halangan melaksanakan kewajiban dalam perjanjian. Bukan pada penetapan resmi status darurat bencana oleh Pemerintah selaku otoritas.

(Baca juga: Masalah Hukum Penundaan Kontrak Akibat Penyebaran Covid-19).

Pihak dalam perjanjian hanya dapat menyatakan kondisi force majeure jika memang terhalang untuk menjalankan kewajibannya. “Walaupun pemerintah menetapkan Covid-19 sebagai bencana nasional nonalam, tidak secara otomatis sama dengan terjadinya force majeure,” kata Fikri.

Fikri juga menyinggung klausa Material Adverse Change (MAC) yang bisa dicantumkan dalam kontrak. MAC yang mengaitkan bencana dengan perubahan signifikan kemampuan keuangan perusahaan terkait isi perjanjian bisa membatasi klaim force majeure.

Fikri mengakui penetapan bencana nasional nonalam ini mungkin relevan bagi perjanjian yang menyepakati penetapan status bencana oleh Pemerintah sebagai dasar force majeure. Sehingga tidak melihat lagi kemampuan pihak yang relevan untuk melaksanakan perjanjian. “Rasanya pasal force majeure seperti itu cukup langka,” ujarnya.

2. Rebus Sic Stantibus

“Nah kalau hardship terkait doktrin rebus sic stantibus itu masih bisa dilakukan namun berubah kondisi menjadi sangat memberatkan,” Budi melanjutkan penjelasannya. Ia membedakannya dengan force majeure yang benar-benar membuat pelaksanaan prestasi terhalang.

Kondisi sangat memberatkan itu bisa dalam bentuk bertambahnya biaya dari perhitungan awal atau terjadinya kondisi sia-sia yang tetap merugikan para pihak. “Kondisi hardship arahnya membenarkan renegosiasi kontrak. Berbeda dengan force majeure yang membebaskan dari gugatan ganti rugi,” kata Budi.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait