Darurat Peradaban Hukum: Aksi Aktif Peradi dengan Universitas Krisnadwipayana dalam Memperbaiki Tatanan Hukum Indonesia
Pojok PERADI

Darurat Peradaban Hukum: Aksi Aktif Peradi dengan Universitas Krisnadwipayana dalam Memperbaiki Tatanan Hukum Indonesia

Kedaruratan hukum menjadi isu yang dibicarakan karena sangat bertentangan dengan asas ‘Trias Politica’ yang dianut oleh Indonesia. Hal ini perlu diluruskan kembali melalui tingkat eksekutif tertinggi yaitu Presiden RI.

Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 3 Menit

 

Sebagai Keynote Speaker, Prof. Dr. H. Jimly Asshiddiqie, S.H., M.H., memaparkan bahwa peradaban negara hukum di Indonesia sebagai konstruksi yang dibentuk penyelenggara, berada dalam keadaan genting. Menurutnya, hampir dari semua lini, fungsi negara hukum sedang bermasalah. Mulai dari sektor law making hingga law enforcement; dari hulu hingga hilir semuanya sedang bermasalah.

 

Hal ini dilanjutkan dengan penjelasan Prof. Dr. T. Gayus Lumbuun, S.H., M.H. Bersama-sama dengan Peradi, Unkris ingin mengukur sejauh mana kewenangan presiden sebagai kedudukan tertinggi di eksekutif bisa menyikapi keadaan di yudikatif. “Bahwa kedaruratan hukum ini sudah dirasakan oleh masyarakat. Di mana kedaruratan yang dirasakan dalam bentuk abnormal dari yang seharusnya di negara ini. Bagaimana akhlak yang semestinya ditunjukan oleh penegak hukum,” Gayus menegaskan.

 

Adapun Dr. Hartanto, S.H., M.H., menyarankan, dalam kondisi kritis, presiden harus melakukan diskresi. Apalagi, ada aturan yang dilanggar yudikatif sebagai pelaksana hukum.   

 

Sementara itu, Ketua DPN Peradi, Prof. Dr. Otto Hasibuan, S.H., M.M. mengungkapkan, Peradi telah membuat catatan khusus, presiden berhasil dalam memimpin bangsa ini. Namun, dalam catatan tersebut, dalam bidang hukum presiden masih sangat lemah. Hal ini telah disuarakan Peradi sejak dulu.

 

Hukumonline.com

Panitia dan pimpinan Peradi dan Unkris berfoto bersama seluruh narasumber dan keynote speaker. Foto: istimewa.

 

Otto berharap, seminar ini dapat memberikan sumbangsih pemikiran dalam bentuk rekomendasi penegakan hukum kepada pimpinan pemerintahan—dalam hal ini presiden—untuk segera membentuk tim khusus guna merespons darurat peradaban hukum. Langkah reformasi juga diperlukan, demi menegakkan kembali hukum sebagai panglima tertinggi.

 

“Dalam kondisi seperti ini kami sepakat bahwa keadaannya sudah darurat. Kalau sudah darurat, presiden harus ambil alih dalam penegakan hukum ini. Presiden harus membuat policy dalam penegakan hukum di semua lini kementerian dan lembaga negara Indonesia,” pungkas Otto.

 

Artikel ini merupakan kerjasama Hukumonline dengan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi)

Tags: