Dilema Advokat Menjalankan Pro Bono, Adakah yang “Gratis”?
Utama

Dilema Advokat Menjalankan Pro Bono, Adakah yang “Gratis”?

Tantangan juga dihadapi advokat berasal dari firma hukum yang memilih non-litigasi.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

Hukumonline.com

Hal ini menjaid tantangan tersendiri terhadap advokat pemberi bantuan hukum pro bono. Tantangan ini tidak hanya dihadapi oleh para advokat litigator ataupun advokat publik yang sering berperkara di pengadilan. Tantangan ini juga dihadapai oleh advokat-advokat yang kesehariannya berasal dari kantor-kantor hukum yang mengkhususkan diri disektor privat atau kerap dikenal dengan advokat korporasi.

Minimnya jam terbang sebagai litigator tidak mengurangi kewajiban advokat korporasi untuk melaksanakan bantuan hukum pro bono. Senior Assosiate Widyawan and Partner, Arie Priadi misalnya. Arie menyebutkan bahwa kantor hukum tepat ia bernaung merupakan kantor hukum yang khusus melaksanakan pekerjaan advokat di sektor privat. Meski begitu, kewajiban melaksanakan pro bono tidak dilupakan. Tetapi, ada variasi pro bono yang sedikit berbeda dari kebiasaan kantor hukum litigasi. “Kami mengerjakan pekerjaan-pekerjaan secara gratis kepada beberapa kelompok,” ujar Arie.

(Baca juga: Pemerintah Sediakan 53 Miliar untuk Bantuan Hukum Masyarakat Marginal 2019-2021).

Pro bono jenis ini kerap dilaksanakan advokat korporasi untuk menyiasati kewajiban melaksanakan pro bono. Menurut pengakuan Arie, kantor hukum Widyawan and Partner juga menyediakan sejumlah anggaran khusus yang diperuntukkan untuk aktivitas semacam corporate social responsibility (CSR). Dengan anggaran ini kemudian kantor hukum Widyawan and Partner membantu sejumlah lembaga non profit untuk melaksanakan aktivitas-aktivitas sosial.

Hukumonline.com

Hal senada disampaikan oleh Almaida Askandar. Partner pada Ivan Almaida Baley and Firmansah (IABF) ini menuturkan bahwa prosedur pelaksanaan pro bono di kantor hukumnya tidak melalui mekanisme pemaksaan. Praktik pro bono oleh advokat dari kantor hukum IABF sering terjadi seiring datangnya permintaan dari sejumlah pihak yang masuk dalam klasifikasi kelompok rentan untuk mendapat bantuan hukum. Selain itu, ada juga kelompok masyarakat yang meminta untuk diadvokasi terkait persoalan hukum yang dihadapi. Pada dasarnya, bantuan pro bono yang diberikan dilakukan terhadap kelompok masyarkat. “Kami memberikan bantuan kepada NGO (Non Governmental Organization),” ujarnya.

Saor Siagian dari Pusat Bantuan Hukum Perhimpunan Advokat Indonesia (PBH Peradi) Rumah Bersama Advokat menekankan pantingnya memperhatikan nilai dari pelaksanaan kewajiban pro bono sebagai konsekuensi sumpah profesi advokat yang officium nobile (profesi yang mulia). Dengan begitu, akan menjadi perhatian bagi semua advokat untuk melaksanakan bantuan hukum pro bono tanpa memperhatikan ada tidaknya benefit yang diperoleh sebagai feedback.

“Harus ada dalam mindset advokat bahwa pro bono itu bukan charity,” ujar Saor mengingatkan. Dengan begitu, ia berharap setiap advokat yang melaksanakan pelayanan pro bono, tidak lagi berfikir tentang benefit yang diperoleh dari pelaksanaan layanan hukum ini.

Advokat Perlindungan Konsumen yang juga sering menangani perkara pro bono, David L. Tobing menyampaikan perlu adanya perubahan konsep dari palayanan hukum pro bono yang selama ini oleh Undang-Undang hanya diatur untuk melayani masyarakat miskin. Upaya ini agar cakupan pelayanan pro bono dapat diperluas tidak hanya melayani orang miskin tapi juga kelompok rentan. “Pro bono bukan cuma untuk indvidu tapi juga untuk kelompok,” imbau David.

Tags:

Berita Terkait