Dinamika Tanah Ulayat dalam Jerat Hukum Negara
Kolom

Dinamika Tanah Ulayat dalam Jerat Hukum Negara

Tanah ulayat masih locus kontestasi hak antara masyarakat adat (nagari) dengan kelompok bisnis dan pemerintah (negara) di berbagai tempat di Sumatera Barat.

Bacaan 2 Menit

 

Namun, sektoralisme peraturan sumber daya alam dengan lahirnya UU Kehutanan, UU Sumber Daya Air, UU Pertambangan dan lain-lain memperlemah hak konstitusional nagari (masyarakat adat) karena pelbagai UU tersebut tidak mengakui secara penuh hak ulayat. Sektoralisme tersebut juga memperkuat Departemen-Departemen (institusi) terkait untuk menerapkan hukum negara secara sentralistik, kaku dan formalistis sehingga praktek-praktek informal hukum adat tersingkir pada titik paling nadir. Sektoralime adalah politik hukum rezim Orde Baru untuk mengeruk sumber daya alam sebesarnya atas nama pertumbuhan ekonomi dan pembangunan dan menyingkirkan hak–hak masyarakat adat (nagari). Implementasi politik hukum tersebut kita rasakan dengan eksploitasi Hutan melalui HPH, perkebunan besar kelapa sawit melalui HGU, pengerukkan perut bumi melalui izin tambang dan lain-lain. Celakanya, politik hukum tersebut masih berlaku di zaman reformasi ini.

 

Pengakuan Hak Ulayat

Harapan pengakuan hak ulayat masyarakat adat (nagari) ternyata bukan muncul dari rezim peraturan pengelolaan sumber daya alam, namun lahir dari rezim peraturan otonomi daerah. Otonomi daerah adalah kritik terhadap sentralisme pemerintah pusat yang begitu besar sehingga mematikan potensi-potensi daerah. Otonomi daerah ternyata sekaligus berkonsekuensi pada dinamika sentralisme hukum, dalam konteks propinsi Sumatera Barat, hal tersebut terlihat dari lahirnya Perda Nagari (Perda No. 2/2007) dan Perda Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya (Perda No. 6/2008). Dua perda ini adalah simbol perlawanan unifikasi hukum pemerintahan desa dan pengelolaan sumber daya alam yang sentralistik di masa rezim Orde Baru.

 

Dua perda ini mencoba menata kembali hak-hak masyarakat nagari dalam penguasaan dan pengelolaan hak ulayat dengan memperkuat nagari sebagai subjek pemangku hak ulayat ( melaui perda nagari) dan tanah ulayat sebagai objek hak ulayat (melalui perda tanah ulayat dan pemanfaatannya). Integrasi hukum negara dengan hukum adat menjadi strategi propinsi sumatera barat dalam melawan dominasi hukum negara itu sendiri terhadap penguasaan hak ulayat di sumatera barat. Dinamika integrasi hukum tersebut terbukti efektif mengangkat sistem pemerintahan adat (nagari) dalam sistem pemerintahan desa yang modern walaupun masih banyak persoalan-persoalan seperti; tumpang tindih kewenangan KAN dengan Pemerintahan nagari dan tumpang tindih batas administratif nagari dengan batas adat nagari. Namun paling tidak, nagari secara perlahan-lahan memperkuat eksistensinya sebagai subjek pemangku hak ulayat.

 

Namun sayang, dalam konteks objek hak ulayat (tanah ulayat dan hutan adat) masih dalam pergulatan yang alot. Perda tanah ulayat dan pemanfaatannya di hadapi pada tantangan sentralisme dan sektoralisme pengaturan sumber daya alam yang kental. Kawasan hutan negara, tanah-tanah yang berstatus HGU, atau tanah-tanah Negara bekas HGU berlaku kuat hukum negara. Pergulatan berlangsung sampai saat ini, baik itu melalui tuntutan-tuntutan politis nagari-nagari atas hak ulayatnya melalui protes-protes terhadap penguasaan hak ulayat oleh negara dan kelompok bisnis, tuntutan hukum nagari-nagari melalui peradilan, maupun integrasi hukum adat dalam hukum negara melalui peraturan nagari seperti pemulihan kembali tanah ulayat bekas HGU Yanita–Ranch di Nagari Sungai Kamunyang Kabupaten Limapuluh Kota dan pengaturan hutan adat dalam kawasan hutan Negara (hutan lindung) di Nagari Guguk Malalo, kabupaten Tanah Datar.

 

Pergulatan di atas di satu sisi memperlihatkan perjuangan nagari sebagai kesatuan masyarakat adat untuk memperkuat hak ulayat dan hukum adatnya terutama setelah runtuhnya rezim orde baru, baik secara politis maupun hukum. Di sisi lain, fakta pluralisme hukum tidak bisa lagi disangkal oleh pemegang kekuasaan negara. Gap antara de jure dengan de facto melahirkan ketegangan yang tak berujung. Hendaknya kita belajar dari rezim yang tumbang akibat kesombongan unifikasi hukum yang utopis. Reformasi peraturan sumber daya alam berbasis hak masyarakat adat adalah tuntutan mendesak agar kita tidak lagi masuk pada lubang yang sama.

 

 

------

*) Penulis adalah Peneliti Qbar, dan Mahasiswa Pascasarjana Pada Program Studi Integrated Natural Resources Management (INRM), Universitas Andalas Padang.

Tags: