Regulasi Dispensasi Perkawinan Anak
Terbaru

Regulasi Dispensasi Perkawinan Anak

Dispensasi perkawinan adalah pemberian hak kepada seseorang untuk menikah meskipun usianya belum mencapai batas minimum menikah, yaitu usia 19 tahun.

CR-27
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Pasca adanya revisi Undang-Undang UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang saat ini perubahannya dituangkan lewat UU No.16 Tahun 2019, terjadi kenaikan angka yang cukup signifikan terhadap jumlah dispensasi perkawinan. Dispensasi perkawinan ini mengubah batas minimum wanita untuk menikah dinaikan menjadi berusia 19 tahun.

Dispensasi perkawinan adalah pemberian hak kepada seseorang untuk menikah meskipun usianya belum mencapai batas minimum menikah, yaitu usia 19 tahun. Dalam keadaan tertentu, jika keadaan menghendaki perkawinan dapat dilangsungkan meskipun salah satu dari pasangan atau keduanya belum mencapai usia dimaksud, dalam artian pihak-pihak dapat mengesampingkan syarat minimal usia perkawinan.

Dorongan direvisinya UU Perkawinan tersebut dikarenakan Mahkamah Konstitusi menganggap bahwa Indonesia tengah berada pada fase darurat perkawinan anak. Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan Hidup Anak (Puskapa) bersama UNICEF pada tahun 2020 menyatakan bahwa Indonesia menempati urutan ke-10 perkawinan anak tertinggi di dunia. (Baca:  Dispensasi Perkawinan Tetap Dimungkinkan, Begini Syaratnya Menurut UU Perkawinan yang Baru)

Adanya pandemi Covid-19 menambah suram angka perkawinan anak di Indonesia. Covid-19 nyatanya bukan semata masalah kesehatan dan ekonomi, tetapi juga merembet ke ranah gender. Duta Generasi Berencana Indonesia 2021, Fiqih Aghniyan Hidayat, mengatakan pada tahun 2020 terdapat lebih dari 64 ribu pengajuan dispensasi pernikahan anak di bawah umur.

“Di masa pandemi, anak tidak ke sekolah jadi akhirnya memilih menikah. Adanya faktor ekonomi keluarga, kehamilan yang tidak diinginkan serta kurangnya pola asuh keluarga selama pandemi juga menjadi faktor perkawinan anak,” ungkapnya dikutip dari Antara.  

Perubahan UU Perkawinan ini turut menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila wanita dan pria sudah mencapai umur 19 tahun. Perubahan pada Pasal ini menimbulkan ekspektasi akan menurunnya angka perkawinan anak.

Namun Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan menyatakan apabila terdapat penyimpangan terhadap ketentuan umur tersebut maka orang tua dari pihak pria maupun wanita diperkenankan untuk mengajukan dispensasi perkawinan ke Pengadilan Agama karena alasan mendesak dan disertai bukti-bukti pendukung.

Menurut UU Perkawinan yang baru, dijelaskan bukti pendukung tersebut berupa surat keterangan yang membuktikan bahwa usia mempelai masih di bawah ketentuan minimum menikah dan surat dari tenaga kesehatan yang mendukung pernyataan orang tua bahwa perkawinan tersebut sangat mendesak untuk segera dilakukan.

Salah satu contoh kasus yang diajukan ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada April 2020 yang lalu, seorang ibu rumah tangga berusia 39 tahun mengajukan dispensasi terhadap anak laki-lakinya yang belum berusia 19 tahun dengan calon pengantin perempuan berusia 16 tahun.

“Hubungan kedua anak sudah sedemikian eratnya, sehingga orang tua khawatir akan terjadi pelanggaran hukum agama yang berkepenjangan dan menimbulkan kemudharatan, untuk itu segera dinikahkan adalah jalannya,” kata majelis Hakim dalam pertimbangannya.

Dispensasi perkawinan ini membuat institusi pengadilan kebanjiran permohonan dispensasi perkawinan yang diajukan oleh orang tua dari anak-anak yang belum mencapai usia minimum menikah. Jumlahnya bahkan lebih besar dibanding sebelum adanya perubahan terhadap UU Perkawinan.

Berkenaan dengan norma hukum, adanya regulasi dispensasi perkawinan anak pasca revisi UU Perkawinan harus dipertahankan. Dalam Pasal 7 pada UU No.1 tahun 1974 terdiri dari 3 ayat, sedangkan pada UU No.16 tahun 2019 terdiri dari 4 ayat. Selain Itu, ada perubahan di dalam frasanya.

Pada revisi UU Perkawinan, Pasal 7 ayat (2) menyatakan pengajuan dispensasi tetap dilakukan oleh orang tua dari pihak calon pengantin laki-laki atau perempuan. Adanya frasa ‘alasan mendesak dan disertai bukti-bukti pendukung yang cukup’ faktanya bertujuan baik, sepanjang tidak ada penjabaran yang tidak jelas, maka frasa tersebut masih menimbulkan pemahaman yang multitafsir, sehingga subjektifitas hakim dengan pertimbangan hukumnya yang akan jadi penentu karena tidak adanya regulasi yang jelas.

Tambahan lain juga terdapat pada ayat (3) yang menyatakan bahwa Pengadilan wajib mendengar pendapat kedua calon pengantin untuk mengantisipasi adanya pemaksaan dalam perkawinan.

Adanya tambahan-tambahan Pasal dan frasa regulasi dispensasi perkawinan masih abu-abu, sehingga peluang dispensasi perkawinan tanpa aturan yang ketat menimbulkan kontra terhadap upaya menaikkan batas usia minimum perkawinan yang tujuan awalnya adalah untuk menekan angka perkawinan anak.

Perumusan regulasi yang tepat bagi dispensasi perkawinan anak nyatanya tidak bisa menjadi solusi untuk menekan angka perkawinan anak dibawah umur. Sehingga perlu adanya standarisasi dispensasi perkawinan anak untuk menekan perkawinan di bawah umur yang terus mengalami peningkatan.

Pembatasan terhadap alasan diperbolehkannya dispensasi menjadi sebuah harapan, sebab permasalahan perkawinan anak tidak hanya menjadi tugas hakim dan norma hukum, namun juga semua pihak harus bersama-sama melakukan sinergi mengurangi faktor penyebab perkawinan anak.

Tags:

Berita Terkait