Diusulkan Pemerintah Bentuk UU Pemberantasan Tindak Pidana Mafia Tanah
Terbaru

Diusulkan Pemerintah Bentuk UU Pemberantasan Tindak Pidana Mafia Tanah

Pemberantasan mafia tanah harus menggunakan cara-cara yang luar biasa (extraordinary). Ketentuan pidana dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Mafia Tanah bisa mengadopsi dari KUHP dan UU terkait.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Akhir-akhir ini, praktik mafia tanah makin marak yang sangat merugikan masyarakat dan pemerintah. Persoalan ini mendapat perhatian serius Presiden Jokowi dan sejumlah lembaga terkait. Bahkan, Presiden Jokowi telah menekankan agar pemerintah berkomitmen memberantas mafia tanah dan memerintahkan aparat penegak hukum bertindak tegas.  

Dosen sekaligus Peneliti Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Jenderal Sudirman, Purwokerto, Kuat Puji Prayitno, mengatakan praktik mafia tanah mencederai semangat luhur bangsa Indonesia. Dia menyebut Pasal 33 ayat (3) UUD RI Tahun 1945 memandatkan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Praktik mafia tanah tergolong kriminal dan kasusnya tidak mudah diungkap.

Praktik mafia tanah ini merugikan masyarakat dan pemerintah. Misalnya mengeksploitasi atau merusak sumber daya nonfisik, pembangunan berkelanjutan, kualitas kehidupan, dan merusak kepercayaan masyarakat. “Daya rusak mafia tanah ini sama seperti korupsi,” kata Kuat dalam webinar bertajuk “Strategi Pemberantasan Mafia Tanah Demi Mewujudkan Kepastian Hukum dan Keadilan Sosial”, Selasa (9/11/2021).

Dia mengungkapkan modus yang digunakan mafia tanah antara lain, menggunakan surat hak-hak tanah yang dipalsukan; pemalsuan warkah; pemberian keterangan palsu; pemalsuan surat; jual beli fiktif; penipuan atau penggelapan; sewa menyewa; menggugat kepemilikan tanah dan menguasai tanah dengan cara ilegal.

Kuat melihat instrumen hukum pidana bisa digunakan untuk menjerat mafia tanah, misalnya delik pemalsuan, penggelapan dan penipuan serta penyertaan dan pembantuan seperti diatur Pasal 263, 266, 372, dan 378 jo Pasal 55 serta Pasal 56 KUHP.

Tapi hal ini membutuhkan kerja sama dan komitmen kuat dari berbagai lembaga dan kementerian terkait dalam penanganan kasus mafia tanah, seperti ATR/BPN, kepolisian, dan kejaksaan. Selain itu, aparat penegak hukum harus memiliki integritas yang tinggi. Kualitas penegakan hukum ditentukan oleh kualitas orang yang menegakan hukum itu sendiri.

“Oleh karena itu integritas aparat penegak hukum sangat dibutuhkan untuk memberantas mafia tanah,” tegasnya. (Baca Juga: Guru Besar FH UGM Ungkap 7 Penyebab Munculnya Mafia Tanah)

Mengingat kejahatan mafia tanah tidak mudah diungkap, menurut Kuat, penanganannya harus menggunakan cara yang luar biasa (extra ordinary). Aparat harus diberikan fasilitas dan kewenangan yang memadai. Selain itu, perlu didukung oleh regulasi yang baik. Karena itu, Kuat mengusulkan pemerintah dan DPR untuk merumuskan pembentukan UU Pemberantasan Tindak Pidana Mafia Tanah.

“Ketentuan pidana yang diatur bisa mengadopsi dari KUHP dan UU terkait lainnya. Ini karena modus mafia tanah dan tipologinya sangat banyak,” bebernya.

Menurutnya, UU Pemberantasan Tindak Pidana Mafia Tanah ini sebagai bentuk respon terhadap dinamika yang terjadi di masyarakat dimana kasus kejahatan yang dilakukan mafia tanah semakin berkembang. Selain itu, tidak menutup kemungkinan juga untuk dibentuk pengadilan bersifat ad hoc untuk menangani perkara mafia tanah.

Dalam kesempatan yang sama, Dirjen Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan Kementerian ATR/BPN, R Bagus Agus Widjayanto, mencatat modus paling banyak dilakukan dalam kejahatan di bidang pertanahan yakni pemalsuan dokumen (66 persen); penggelapan dan penipuan (16 persen); dan okupasi ilegal (11 persen). Kewenangan ATR/BPN dalam menyelesaikan sengketa pertanahan terutama penyidikan kejahatan di bidang pertanahan sifatnya sangat terbatas. Oleh karena itu, ATR/BPN membutuhkan lembaga lain untuk memberantas mafia tanah.

“Dalam menangani kasus pidana terkait mafia tanah, ATR/BPN bekerja sama dengan Polri, Kejaksaan, Komisi Yudisial, dan Mahkamah Agung,” ungkap Agus dalam kesempatan yang sama.

Menurutnya, modus kejahatan yang dilakukan mafia tanah bentuknya beragam, seperti pemalsuan tanda hak atas tanah. Dengan modal dokumen palsu itu mafia tanah mengklaim kepemilikan bidang tanah tertentu. Di wilayah Banten dan Bekasi ditemukan ada pelaku yang memproduksi girik baru dengan stempel asli dan pelakunya merupakan mantan pegawai pajak. Bahkan, mafia tanah tak segan untuk menggugat pidana pemilik tanah asli jika klaim mereka atas tanah dipersoalkan.

Ada juga modus mafia tanah untuk mencari legalitas di pengadilan. Agus memaparkan mafia tanah menggunakan pengadilan untuk memutus agar mereka legal memiliki bidang tanah. Caranya dengan berpura-pura mengajukan gugatan perdata. Padahal pihak penggugat dan tergugat adalah kelompok mafia tanah itu sendiri.

Mereka menggunakan dokumen palsu, misalnya girik atau eigendom verponding. Dalam tuntutannya penggugat meminta agar ditetapkan sebagai pemilik yang sah atas tanah yang diklaim tersebut. Jika amar putusan mengabulkan gugatan, maka putusan ini dijadikan sarana untuk mengeksekusi. “Putusan itu digunakan untuk mengajukan permohonan hak atas tanah,” katanya.

Tags:

Berita Terkait